Langsung ke konten utama

Unggulan

BEBERAPA CATATAN UNTUK TES WIDAL

Sifat Seorang Guru


Kembali menulis dan menulis, ya inilah saya seorang biasa yang menuangkan pemikiran ini. Ingin kembali berbagi dengan apa yang telah dibaca melalui jari-jemari diatas keyboard ini. Sebenarnya ini buku yang sudah lama saya miliki, judulnya adalah “Guruku Muhammad” karya Fuad Asy Syalhub, kembali saya baca dan baca. Yang menarik dari buku ini adalah BAB pertamanya yang membahas mengenai sifat seorang guru yang merujuk pada sifat-sifat rasul sebagai pengajar terbaik.
Sekedar informasi juga bahwa cita-cita saya sedari dulu memang menjadi seorang guru (semoga Ya Allah, harapan ini terkabul. Back to campus as a lecture, seperti yang saya banyak orang harapakan amin). Entah kenapa ketika bisa berbagi sedikit yang saya tahu dengan orang lain, disitulah merasa menjadi hidup. Rasanya lebih indah dan membahagiakan ketika bisa berbagi dengan orang lain lebih bahagia dibandingkan dengan mendapat nilai 100, berbagi hal apapun entah cerita, ilmu, ataupun pengalaman, apalagi ngobrolin masa depan dan mimpi-mimpi, rasanya inspirasi dan motivasi berpetualang makin menguat. Karena bagi saya nilai itu hanya sebuah angka yang tidak menentukan nasib seseorang, yang menentukan nasib kita adalah kemapuan kita dan kecerdikan kita memanfaatkan potensi dalam diri kita. Kita akan menjadi apa yang kita pikirkan karena Allah sesuai dengan prasangka kita, jadi berprasangka lah baik ke Allah.
Ok mari sekarang kita fokus ke bahasan kita. Disini hanya beberapa sifat yang saya rasa relevan dengan keseharian kita apapun dan siapapun kita:
1.       Mengiklaskan Ilmu karena Allah
Maksud dari sifat pertama ini adalah, bahwa dalam mengajarkan kepada murid atau sesama, seorang yang dianggap guru harus benar-benar meniatkan lillahitaala semata untuk memberi manfaat pada yang diberi pengajaran. Tidak boleh ada sedikitpun niatan untuk mencari kedudukan dan pangkat disisi manusia apalagi hanya ingin disebut sebagai seorang yang berilmu. Cukuplah ilmu kita bermanfaat sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada yang menitipkan ilmu ini, sebagai ladang amal shaleh.
2.       Kejujuran
Sifat ini seakan menjadi sesuatu yang langka di zaman jahiliya modern ini. Ketika begitu banyak dusta diantara kita, mudah berjanji dan melupakan. Jujur merupakan kapal penyelamat dunia dan akhirat. Dalam menyampaikan sesuatu bicaralah apa adanya yang tahu katakan tahu yang tidak katakan tidak tahu, jangan berpura-pura so tahu hanya karena ingin dianggap pintar. Ah apalah kedudukan disisi manusia hanya kesemuan belaka.
Makna jujur jauh lebih dari pada situ semua. Prihatin dan miris rasanya melihat kondisi negeri ini disaat setiap tahun terjadi pembohongan publik yang luar biasa hanya demi selembar transkrip nilai ijazah kita semua telah banyak berbohong dan kita tahu semua hanya kongkalikong mempertaruhkan perjuangan bangku pendidikan hanya demi selembar cap “Dinyatakan Lulus” dan seharusnya ditambahkan cap “Ini Produk Pembohongan Publik”.
Jujur mendekatkan kita pada kasih saya Rabb. Cinta mana yang lebih berharga dibanding cinta Rabb kita, yang setiap saat akan memeluk.
3.      Keselarasan Perkataan dan Perbuatan
Seorang guru hendaknya menjadi teladan bagi muridnya, yang menginspirasi murid-muridnya. Apa yang dia katakan harus sesuai dengan tindak tanduknya. Contoh yang kadang membuat saya heran “Mahasiswa harus memakai APD lengkap saat praktikum di lab” tetapi yang menyerukan bebas berkeliaran di laboratorium bahwa menggelar makanan,hehehe. Ah sungguh aneh orang-orang negeri ini.
Ini ibarat ketika hendak membuat larutan Luff Schroll, yang harusnya mencampur asam sitrat ke dalam Na-Karbonat baru kemudian ke dalam Cu-Sulfat, malah melakukan pencampuran Cu-Sulfat ke dalam Na-Karbonat, ya jelas akan terbentuk endapan.
4.      Adil dan Egaliter
Seorang guru adil berarti memandang semua muridnya adalah sama sebagai subjek yang akan didik, dengan egaliter yang artinya menurut saya adalah berbaur dengan muridnya. Seorang guru tidak boleh bersifat subjektif hanya karena muridnya adalah anak XYZ. Rasanya ini saya punya teladan seorang dosen saya, beliau ketika tingkat 1 dan 2 selalu bilang “Mahasiswa tingkat 1 dan 2 gak boleh berkunjung ke rumah saya, bisi sayanya subjektif. Nanti pas tingka 3 baru boleh da udah gak ada lagi mata kuliah saya”. Waah rasanya memang benar perkataan beliau. Ketika kita terlalu dekat dengan seseorang dan saling berinteraksi dengan baik dan adanya timbal balik pasti kita cenderung berpihak pada yang dekat dengan kita, kadang objetivitas kita menjadi kabur karena kesubjektifan itu.
Akan tetapi walaupun beliau berusaha menjaga agar tidak subjektif, beliau sungguh sangat friendly ketika kami mengoblol dengan beliau, membimbing dan mengayomi, seakan tiada batas diantara kami, memang kesan beliau itu tegas dan disiplin, tetapi walaupun demikian ketika mengobrol terasa tiada jarak dan terasa nyaman mengungkapkan semuanya, naah itulah guru yang egaliter. Mampu memposisikan diri sebagai pihak yang objektif dan merangkul. Satu lagi yang menarik dari teladan dosen yang satu ini, beliau tidak pernah menganggap dirinya pintar belaiau bilang “bedanya saya sama kalian cuman, saya diberi kesempatan belajar lebih dulu jadi saya lebih dulu tahu”. Subhanallah sikapnya, benar-benar cerminan ketulusan dalam pengabdian.
5.      Menghias Diri dengan Akhlak Mulia
Ya akhlak mulia yang menjadi cerminan kebersihan hati. Apa yang lebih berharga dibanding akhlak. Akhlak mulia bukan lah akhlak topeng karena ingin dipuji sebagai seorang alim. Guru yang baik adalah ia yang mencerminkan kemuliaan lahir batin dengan perkataan dengan lisan yang begitu indah tanpa ada sepatah katapun yang menyaikiti atau kotor. Bersikap mau berkorban lebih untuk murid-muridnya agar mereka menjadi lebih baik darinya, ia tidak takut dan gentar demi mendidik muridnya sampai menjadi ahli dan memberi dukungan penuh pada impian murid-muridnya.
Ya ada beberapa sosok yang seperti ini yang aku temui, betapa baiknya beliau-beliau banyak berjuang demi murid-muridnya. Beliau berkata “kalau bukan demi mahasiswa, mungkin saya mah udah pensiun aja cape. Tapi kalau bukan saya siapa lagi?, saya mah sayang sama mahasiswa makannya saya urusin”. Beliau berkata begitu, wah terenyuh sekali, sebegitu pedulikah ibu kepada kami? Haru dengan cerminan sikap beliau yang seperti ini. Dapatkan kita berterima kasih pada beliau guru-guru yang rela berkorban demi kita murid-muridnya.
Ah saya rasa 5 sifat guru itu dsudah cukup menggambarkan apa yang saya maksudkan. Semoga suatu saat nanti saya dapat mewujudkan impian menjadi seorang guru yang benar-benar bermanfaat dan rela mencurahkan apapun demi muridnya yang menjadi amanah besarnya.
Dunia pendidikan merupakan gerbang utama kemajuan suatu bangsa, tidak mungkin kemajuan ini hanya disandarkan pada penilaian teoritis belaka, tetapi bagaimana kita membangun sikap mental yang terpuji bagi seorang murid. Kecerdasan emosional dan spiritual rasanya lebih utama dibanding kecerdasan intelektual. Apalah artinya seorang yang intelektualitasnya tinggi jika tidak didasari kecerdasan emosional dan spiritual yang mantaap berdasar rambu-rambu agama. Dan jangan lah menjadi generasi penghafal tetapi jadilah generasi yang memahami dan mampu mengurai problematika baik dalam belajar maupun rutinitas keseharian. Dan rasanya sistem pendidikan kita memerlukan reformasi besar-besaran. Mungkin aka nada bahasannya tersendiri. Doakan semoga ada umur untuk menulisnya lagi ^^.

Salam Perjuangan, Malam Ramadhan ke-13, 11 Juli 2014

Muh. Reza Jaelani


Inspired by seorang dosen pembimbing akademik, obrolan sharing dengan sahabat, dan buku-bukuku yang mulai berdebu (maaf bukuku ^^)

Komentar