Langsung ke konten utama

Unggulan

BEBERAPA CATATAN UNTUK TES WIDAL

REAKSI ANTIGEN-ANTIBODI

Tinjaun Hukum Fisikokimia dalam Reaksi Antigen-Antibodi


Antigen dan antibodi berikatan secara spesifik melalui ikatan situs-situ aktif tertentu. Bagian antigen yang berikatan dengan antibodi disebut dengan epitop, sedangkan bagian antibodi yang berikatan dengan epitop dikenal dengan region Fab (Fragmen Antibodi binding site) atau paratop. Ikatan antigen-antibodi merupakan reaksi netralisasi, reaksi oponisasi yang bertujuan memblok kerja pembawa antigfen baik itu mikroba, maupun sel yang abnormal, atapun hapten yang terikat dengan substansi lain.
Reaksi antigen-antibodi dikaji dalam serologi. Ser0logi bekerja dengan cara mereaksikan serum yang diduga mengandung antisera (antibodi) pada sejumlah bahan yang mengandung antigen. Antigen yang dimaksud tidak terbatas hanya pada antigen dari substansi hidup seperti bakteri, virus, atau jamur saja, namun telah mencakup pengembangan untuk deteksi analit dengan kadar rendah seperti hormon, enzim, dan tumor marker.
Perlu diketahui bahwa interaksi antigen-antbodi tidaklah sesederhana yang terbayang, namun terjadi dalam tahapan-tahapan yang kompleks serta banyak faktor yang mempengaruhinya perlu pengkajian yang lebih detail mengenai interaksi ini. Arrhenius dan Madson pada tahun 1902 mengusulkan agar interaksi antigen-antibodi ditinjau dari segi hukum fisikokimia dan termodinamika. Karl Landsteiner yang menemukan penggolongan darah AB0 telah banyak berkontribusi dalam membangun dasar-dasar interaksi antigen-antibodi seperti spesifisitas reaksi, kekuatan reaksi yang bervariasi dipengaruhi konsentrasi antisera dan antigen yang direaksikan, serta beragam faktor mempengaruhi.
Atas dasar-dasar itu maka diketahui bahwa interaksi antigen-antibodi mengikuti hukum kesetimbangan kimia, dimana reaksi tidak selalu berjalan linear tetapi ada titik dimana kesetimbangan tercapai.
Interaki antigen- antibodi baik in vitro maupun in vivo dapat dibagi menjadi 3 fase reaksi (Primer, Sekunder, dan Tersier). Setiap fase reaksi dewasa ini telah melahirkan berbagai jenis tes imunologi.

INTERAKSI ANTIGEN-ANTIBODI FASE (I) PRIMER
Fase pertama ini dapat terjadi secara in vivo dan in vitro, pada fase ini antibodi tersusun atas rantai polipeptida yang termodifikasi memiliki situs-situs aktif (paratop/Fab) yang dapat mengenali bagian antigen (epitop). Epitop dan paratop yang bertemu kemudia akan saling berikatan. Pembentukan reaksi ini mengikuti hukum kesetimbangan kimia.
Ag + Ab ó  Ag-Ab
Panah bolak-balik menandakan reaksi bersifat reversible atau bolak (setelah terbentuk ikatan Ag-Ab, ikatan tersebut dapat terdisosiasi/lepas), karena reaksi ini bersifat reversible maka memiliki harga konstanta kesetimbangan (K).

Kesetimbangan akan terjadi jika konsentrasi antigen dan antibodi yang direaksikan tepat. Dari persamaan ini dapat diperoleh berapa konsentrasi antigen dan antibodi yang harus direakikan dalam sebuah analisis agar tidak terjadi reaksi balik (lepas ikatan yang menyebabkan hasil reaksi negatif palsu).
Harga kesetimbangan reaksi dapat diketahui melalui metode Dialisis Ekuilibrium (Note : contoh metode ini dikembangkan untuk pemeriksaan aviditas Anti Toxoplasma IgG, penentuan free testosteron). Bagan sederhana tersaji pada gambar di bawah ini.


Kita contohkan penentuan aviditas anti Toxoplama IgG (Ab) dari serum. Pada prinsipnya antibodi dan antigen ditempatkan dalam sebuah wadah yang terpisah dengan membran semipermeable yang hanya dapatdilewati antigen. Antigen yang berlabel (untuk memudahkan pendeteksian) akan berdifusi ke bagian yang terdapat antibodi kemudian akan saling berikatan. Pada bagian tempat antigen antigen maka konsentrasi antigen akan berkurang (dot merah berkurang, garis grafik merah turun), sedangkan pada bagian antibodi akan terbentuk kompleks Ag-Ab yang semakin banyak (garis grafik hitam naik, Ab ditempelin Ag). Kesetimbangan tercapai jika sudah tidak ada lagi perubahan konsentrasi dikedua sisi artinya reaksi berjalan konstan. Maka harga K dapat diketahui.
2Ag + Ab ó  Ag2Ab
Contoh : Pada reaksi IgG ingat IgG memiliki 2 Fab jadi 1 Ab mengikat 2 Ag

[Ab]
[Ag]
[Ag2Ab]
mula-mula (a)
15
40
0
Bereaksi (b)
10
20
10
Kesetimbangan (c= a-b)
5
10
10
Perhatikan Antigen selalu ditaruh berlebih. Jika dianggap semua Ab bereaksi maka jumlah antigen yang bereaksi sebanyak 2 x Ab (koefisien) = 20. Dari 10 Ab dan 20 Ag akan terbentuk 10 ikatan Ag-Ab (1 Ab mengikat 2 Ag). Di akhir kesetimbangan reaksi (3) masih tersisa 5 Ab, 10 Ag yang tidak berdifusi, dan terbentuk 10 ikatan Ag-Ab. Dari sini kita hitung kesetimbangan reaksi. Setiap koefisien menjadi pangkat.

= 2 x 10-2 (Konstanta Kesetimbangan)


Kenapa tercapai kesetimbangan, tidak bereaksi semua kenapa?
Berhubungan dengan kinetika kelajuan reaksi yang berhubungan dengan tumbukan antar molekul. Analoginya ddalam sebuah ruangan bioskop terdapat 100 orang penonton, kemudian alarm kebakaran berbunyi, pintun darurat hanya ada 1 pintu di bagian belakang. Saking paniknya pada saat mula-mula orang-orang akan berebut keluar pintu saling sikut kanan kiri hamper semua bagian tubuh saling dorong-dorongan gak peduli laki-laki perempuan campur baur saling berhimpitan kan nyari istri saya mana, suami saya mana, anak saya mana, pacar saya mana, kalau sebagain sudah keluar maka kerumunan itu pun jadi terartur lagi sudah saling ketemu kumpul, paling yang tersisa hanya yang jomblo-jomblo aja.
Nah molekul pun dalam menbentuk ikatan seperti halnya kerumunan tadi, molekul-molekul mula-mula akan saling tumbuk menumbuk, kalu ketemu yang cocok maka dia akan berpasangan (ketemu ikatan yang pas), ketika sebagian besar sudah berikatan maka intensitas tumbukan akan berkurang juga, maka seiring waktu ikatan tidak akan terjadi lagi jadilah molekul itu jomblo.
Ag-Ab juga sebuah molekul ikatan mereka dipertemukan melalui interaksi seperti ilustrasi tersebebut. Ketika sudah mulai teratur lagi maka tercapailah titik kesetimbangan.
Dalam reaksi fase in vivo mekanisme alamiah ini bermanfaat sekali agar tidak terbentuk agregat kompleks antigen-antibodi yang berlebih yang memicu inflamasi berlebihan yang merusak jaringan, sisa antigen pun dalam tubuh yang tidak terikat antibodi akan diproses oleh sejumlah fagosit yang tujuannya memperkuat memori sel imun serta mengirim signal ke banyak banyak komponen imun apakah produksi antibodi dilanjutkan atau diperlambat, ini cerita simpelnya tahapannya sebenarnya kompleks. (Nikmat karunia Alloh)
Dalam grafik terlihatlah grafik hitam dan merah saling berhimpit yang menggambarkan kelajuan reaksi yang konstan.
Bagaimana kalau komposisi reaksinya diubah?
Sesuai dengan azas Le-Chartelier tentang kesetimbangan kimia maka nilai K akan selalu konstan pada setiap kondisi, yang akan berubah hanyalah jalannya reaksi. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi laju reaksi (pembentuka ikatan antigen-antibodi) seperti konsentrasi, temperatur, bentuk dan ukuran molekul, serta keberadaan zat pengganggu.
Jika kita menambah mengurangi reagen dalm pemeriksaan pasti berdampak pada reaksi ikatan ini. Misal  harunya mencapur 15 Ab dan 40 Ag tetatpi karena satu sebab dan lain hal yang direaksikan hanya setengahnya, maka otomatis ikatan Ab-Ag pun yang terbentuk bukan seperti seharunya lagi tapi menjadi lebih kecil.
Yang bereaksi hanya 5 Ab dan 10 Ag, dari semula 7,5 Ab dan 20 Ag nilai K = 2 x 10-2 , berapa Ikatan yang terbentuk?
Dari rumus di atas hanya akan diperoleh hanya sebanyak 5 Ag-Ab, jika ini terdeteksi alat/diamati secara visual maka nampak jumlah yang lebih sedikit. Dapat menimbukan kekeliruan interpretasi, apalagi pada tes-tes berbasis reaksi fase-II (Aglutinasi, Presipitasi, Flokulasi butiran yang halus bahkan tak terbaca). So, jangan sembarangan mengubah prosedur tanpa diverifikasi! Prosedur yang tercantum pada insert kit sudah didapat dari hasil riset panjang buka coba-coba saja.
Pada fase-1 ini hasil reaksi sebenarnya belum dapat teramati dengan mata telanjang ataupun dengan bantuan mikroskop sekalipun. Ikatan-ikatan antigen-antibodi masih terpisah-pisah. Untuk itu dalam reaksi diperlukan “label” seperti konjugat pewarna dalam reaksi ELISA, label radioaktif pada tes RIA (Radio Immunoassay), label yang dapat berpendar (tes Immunofluoresen seperti imunohistokimia, ELFA), atau label yang menghamburkan signal pada reaksi chemiluminesance (CMIA dan ECLIA).
Reaksi antigen-antibodi fase-1 merupakan tes yang paling sensitif dan spesifik, hanya memerlukan pereaksi-pereaksi sedikit (rata-rata < 10 µL) sehingga limbah yang dihasilkan pun lebih sedikit.
Contoh pengerjaan tes-tes yang memakai prinsip fase-1 ini seperti yang sudah di sebutkan di atas yaitu ELISA, ECLIA, CMIA, Immunofluosensi (beberapa tes Immunohistokimia dan ELFA), dan RIA.
Metode ini dikatakan paling sensitif dan spesifik karena tidak semua hasil ikatan Ag-Ab dapat berlanjut ke fase-II membentuk kompleks presipitasi yang dapat teramati tanpa bantuan label, sehingga analit dapat mendeteksi jumlah analit yang lebih kecil dengan keakuratan yang masih baik.

INTERAKSI ANTIGEN-ANTIBODI FASE (II) SEKUNDER
Ikatan antigen dan antibodi biasanya bermuatan netral, muatan-muatan yang netral cenderung untuk berkumpul membentuk kompleks yang lebih besar. Kompleks ini disebut sebagai kompleks imun. Dalam kondisi normal reaksi fase II hanya berlangsung secara in vitro, jika terjadi secara in vivo maka menimbulkan reaksi hipersitivitas tipe III (ADCC) yang memicu kerusakan jaringan. 
Jauh sebelum dikembangkan tes-tes imunologi berbasi fase-I, pada awal mula pengembangan serologi hampir semua tes berdasarkan reaksi fase-II ini. Percobaan paling popular tentu saja percobaan Landsteiner yang mereaksikan sejumlah darah dan antisera yang menjadi dasar penggolongan darah sistem AB0 berkat reaksi-reaksi presipitasi.
Kompleks imun merupakan gabungan dari ikatan-ikatan Ag-Ab yang saling terhubung dengan berbagai macam ikatan intramolekuler seperti ikatan Van der Walls, Ikatan Hidrogen, Ikatan Elektrostatik atau gaya dipol-dipol, serta gaya hidrofobik. Ag-Ab akan berkumpul menjadi sebuah massa agregat berkat ikatan-ikatan ini. Analogi, orang yang setipe akan berteman akrab dengan yang membuat dia nyaman bisa menerima tipenya, mirip pemikirannya kan. Begitu juga dengan pembentukan kompleks imun.
Pada tahap ini kita perlu mengetahui pengelompokan reaksi-reaksi fase II ini agar tak salah menginterpretasikan hasil. Jenis reaksi fase-II terdiri dari 3 jenis yaitu presipitasi, flokulasi, dan aglutinasi. Ketiganya serupa tapi tak sama.
Flokulasi dan aglutinasi pada dasarnya merupakan reaksi yang sama denga presipitasi. Semuanya dimulai dari pembentukan kompleks imun dari ikatan Ag-Ab, jika agregat yang terbentuk sangat besar maka kompleks tersebut akan mengendap dengan sendirinya tanpa bantuan apapun, maka ini disebut Presipitasi.
Reaksi fase-II ini juga mengalami fase kesetimbangan pembentukan ikatan, kemunculan presipitasi sangat dipengaruhi perbandingan konsentrasi masing-masing zat yang direaksikan.
Mari kita pelajari dengan ilustrasi di bawah ini. Percobaan ini dilakukan oleh Heidelberg dan Kendall. Mereka mengimunisasi kelinci dengan putih telur (Ovalbumin) kemudia serum yang diduga mengandung anti Ovalmunin di ambil dari kelinci tersebut. Kemudian mereka melakukan percobaan mereaksikan serum dan ovalbumin dengan beragam variasi konsentrasi dan kemudian diinkubasi dan diamati hasilnya dengan menentukan presipitasi yang terbentuk serta apakah ada sisa antigen (ovalbumin) atau antibodi (anti-ovalbumin) pada bersisa (Note : Ini mirip percobaan dialisis ekuilibrium, hanya saja yang diamati reaksi fase-II).
Disediakan 7 buah tabung reaksi, kemudian masing-masing tabung diisi dengan ovalbumin berurutan dari tabung ke-1 (blanko) s.d ke-7 (0,15,30,60,90,120,150 µg). jumlah serum yang ditempatkan ke dalam tabung semuanya sama sejumlah 500 µL, kemudian campuran ini diinkubasi agar didapatkan presipitasi.


Grafik Keseimbangan Reaksi Ikatan Antigen-Antibodi

Kurva dengan sumbu X jumlah antigen (W-Ag), dan sumbu Y jumlah antibodi menunjukan (W-Ab) menunjukan bahwa reaksi pembentukan presipitasi tidak terjadi linear secara terus menerus (tidak selalu semakin banyak yang direaksikan akan terus terbentuk kompleks Ag-Ab). Pada tabung ke-1 tidak terjadi presipitasi, hal ini penting dilakukan sebagai blanko (kontrol negatif) agar semua reaksi presipitasi terjadi karena sebab reaksi antigen-antibodi, bukan karena sebab fisikokimia lain seperti penggumpalan zat-zat pereaksi. 
Pada tabung ke-2 mulai terbentuk presipitasi begitu juga tabung ke-3, namun setelah dianalisis ternyata masih ada sisa antibodi bebas yang tidak bereaksi (Antibodi masih berlebih), sedangkan antigennya semua bereaksi. Pada tabung ke-4 ada sebuah titik dimana hampir seluruh antigen dan antibodi bereaksi membentuk ikatan Ag-Ab sehingga pada tabung ke-4 mereka tidak mendeteksi lagi Ab dan Ag yang tersisa bebas, mereka menamakan titik ini titik ekivalen reaksi, jumlah antigen-antibodi setara. Jika reaksi berlanjut pada tabung ke-5 s.d ke-7 ada sebuah fenomena dimana ada sisa antigen bebas.
Namun ada sebuah kebingunan, jika jumlah antigen dan antibodi yang bereaksi setara (ekuivalen), lantas kenapa ukuran presipitasi yang terbentuk tidak sama besar?
Kebingungan ini berhasil dipecahkan oleh Marrack melalui teori kisi yang dikenal dengan Lattice theory. Perhatikan ilustrasi gambar di bawah ini.


Kompleks imun yang membentuk presipitasi merupakan gabungan dari ikatan-ikatan Ag-Ab yang bereaksi. Selazimnya mereka bermuatan netral maka pada kondisi yang setimbang ikatan-ikatan ini akan bergabung (c) menjadi kompleks imun berupa presipitasi yang relatif besar. Pada tabung 2-3 dan 5-7 endapan nampak lebih kecil karena, pada tabung 2-3 masih terdapat kelebihan antibodi yang berarti masih ada tangan-tangan Fab bermuatan yang bebas (a). Selayaknya molekul yang bermuatan sama maka mereka akan saling tolak-menolak satu sama lain, akibatnya kompleks imun yang terbentuk labil dan berukuran kecil karena faktor muatan elekstrostatik yang saling tolak menolak. Begipu juga pada kondisi kelebihan antigen (b). antigen adalah molekul bermuatan yang akan saling tolak menolak, menghambat pembentukan kompleks imun.

Tes presipitasi sangat baik digunakan sebagai tes kualitatif. Contoh presipitasi pada reaksi imunodifusi, antibodi dan antigen di tempatkan dalam sumur-sumur well kemudian dibiarkan berdifusi pada media gel kemudian akan saling bertemu, Ag-Ab yang cocok maka akan membentuk Ikatan Ag-Ag yang lama kelamaan akan makin banyak yang dapat teramati nampak seperti garis tebal (Gambar).

Imunodifusi

Namun ada kalanya kompleks antigen-antibodi tidak terbentuk membesar, sehingga tidak mengendap hanya berupa serpihan-serpihan halus yang melayang. Fenomena itu disebut sebagai flokulasi. Fenomena ini berkaitan juga dengan kompleks muatan yang tidak sepenuhnya netral yang menyebabkan kompleks tidak terlalu besar. Analogi, orang-orang tertentu yang pendiam kebanyakan hanya berkumpul dengan 2-3 orang saja, karena tidak terlalu tertarik dengan keramaian. Contoh tes ini pengerjaan Tes VDRL/RPR


Flokulasi

Presipitasi dan Flokulasi dipandang tidak efisien dari segi waktu, karena memerlukan waktu yang relatif lama. Flokulasi VDRL/RPR mungkin hanya perlu 8-10 menit dengan durasi pengerjaan sampai keluar hasil sekitar 1 s.d 1,5 jam, namun untuk imunodifusi memakan waktu berjam-jam bahkan ada yang 24 jam. Dari segi urgensi kegawat daruratan waktu ini terlampau lama. Tes ini juga lebih baik kualitasnya jika kita pandang dari kinetika kimia.
Prinsip dasar tes aglutinasi adalah menggunakan antigen atau antibodi yang melekat pada suatu substansi seperti sel atau komponen lateks. Tujuannya agar ikatan Ag-Ab yang sedikit pun dapat dideteksi tanpa perlu terbentuknya kompleks imun yang besar. Contohnya tes ASTO, antigen streptolisin O dikumpulkan melekat pada lateks, sehingga apabila serum yang di tes mengandung antistreptolisin O maka akan berkumpul pada komponen lateks karena berikatan dengan antigen yang ada disitu. Tes yang paling sederhana tentu saja tes golongan darah AB0 dan Rhesus, antigen-A, antigen-B, antigen-H (sebutan untuk goldar 0), Antigen-Rh menempel pada permukaan sel eritrosit. Reagen Anti-A, Anti-B, Anti-D nanti akan mengikat antigen pada permukaan sel eritrosit, ikatan-ikatan ini akan menyatukan sel-sel eritrosit yang terikat antigennya membentuk aglutinasi. Contoh lain tes Coomb direk/indirek, tes widal, tes Hemaglutinasi TPHA dan virus Influenza, tes hemolisis, dsb.
Kelebihan tes Aglutinasi dibandingkan tes presipitasi adalah kemampuan tes ini menentukan titer, pada tes flokulasi juga dapat ditentukan titer, namun tetap tes aglutinasi lebih baik dalam menentukan titer karena lebih sensitif.
Tes aglutinasi pada penentuan titer mensyaratkan adanya pengenceran serial baik pengenceran langsung seperti ilustrasi di bawah ini, atau secara tidak langsung seperti pada tes Widal (komposisi serum 80,40,20,10, 5 uL).

Penentuan Titer Antibodi

Tujuan dari pengenceran serial ini adalah menghindari efek prozone. Dimana aglutinasi tidak terbentuk yang diakibatkan kelebihan antibodi yang direaksikan menghambat pembentukan aglutinasi dengan sebab efek muatan yang dikenal potensial zeta menghalangi pembentukan kompleks antigen-antobodi (aglutinasi negatif).

INTERAKSI ANTIGEN-ANTIBODI FASE (III) TERSIER
Kebalikan dari reaksi fase II, reaksi fase III hanya terjadi secara in vivo dan itu pun hanya terjadi dalam kondisi abnormal dan bersifat patologis. Reaksi fase III merupakan kelanjutan dari reaksi fase II, jika secara in vivo terjadi pembentukan kompleks antigen-antibodi maka kompleks ini akan mengundang sejumlah mediator imunitas, seperti komplemen, enzim proteolitik, termasuk sitokin pro-inflamasi dan sejumlah sel-sel fagosit.
Reaksi yang terjadi akan menyebabkan kerusakan jaringan yang diakibatkan inflamasi oleh faktor humoral dan seluler imunitas. Kompleks imun dapat mengendap dimana saja bisa di kulit, di ginjal, bahkan di dalam persendian. Manifestasi dari reaksi ini seperti reaksi Arthus, serum sickness, dan penyakit terkait kompleks imun.
Pada reaksi Arthus terjadi ketika antigen disuntikan secara intravena bertemu dengan antibodi yang sudah terdapat di dalam darah. Seketika antibodi dan antigen akan bereaksi membentuk kompleks imun, jika kompleks ini terus membesar maka akan semakin meningkatkan aktivasi sistem komplemen. Sebagaimana diketahui komplemen bekerja untuk menghancurkan antigen namun jika reaksi ini tidak terkendali komponen komplemen C3a dan C5a menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah yang dapat memicu kebocoran yang berlanjut pad udema (pembengkakan jaringan akibat cairan). Sistem komplemen juga bersifat kemotaktik terhadap sel-sel fagosit termasuk trombosit. Reaksi ini akan memicu terjadinya thrombosis atau sumbatan, yang pada akhirnya akan berujung pada pendarahan dan nekrosis jaringan setempat. Dari mekanisme ini menjadi alasan kenapa vaksinasi aktif tidak diberikan secara intravena, karena dapat memicu reaksi Arthus jika antobodi yang bersangkutan telah ada sebelumnya selain karena bukan rute imunogenik.
Beberapa penyakit juga terkaitan dengan reaksi fase III ini, seperti kasus Rheumatik Jnatung yang ditimbulkan Streptococcus A, komponen bakteri atau bakteri itu sendiri dapat masuk ke peredaran darah (bakteriemia) secara khusus komponen ini memiliki afinitasyang baik terhadap sel-sel jantung. Penempenlan komponen asing ini menyebabkan sel dikenali sebagai sesuatu yang asing bagi sistem imun dan menyebabkan daerah ini mengalami reaksi antigen-antibodi, terbentuk laj kompleks imun yang selanjutnya memicu reaksi inflamasi yang merusak jaringan. Contoh lain ialah pada sindrom Goodpasture (yang ditandai pendarahan di jaringan paru-paru), dan Glomeronefritis (adanya pembentukan kompleks antigen-antibodi di membran basalis epitel ginjal).
Dalam praktik laboratorium reaksi fase III ini dikembangkan menjadi beberapa tes yang terkait dengan uji hipersensitivitas, seperti tes Mantoux, dan tes reaksi alergi obat dengan cara menyuntikan obat yang dianggap sebagai antigen secara subkutan.
Kulit diketahui juga sebagai salah satu organ yang terkain sistem imunitas karena pada kulit terdapat sistem SALT (Skin Association Lympoid Tissue). Dalam kulit terdapat sel-sel imunokompeten (APC) yang dikenal dengan sel Langerhans, sejumlah seri sel limfosit, serta ada sel-sel efektor seperti sel mastosit atau sel mast. Sel-sel ini lah terutama sel mast yang digunakan untuk pengujian reaksi alergi obat yang terkait hipersensitivitas tipe I atau umum dikenal dengan alergi dengan mediator utama pelepasan histamin.

Semoga Bermanfaat

Muhammad Reza Jaelani

Referensi
Subowo. 2014. Imunobiologi. Edisi 3. Jakarta : Sagung Seto
Kresno, SB. 2010. Imunologi : Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Jakarta : Badan Penerbit FKUI
Olson, KR., Nardin, ED. 2016 : Contemporary Clinical Immunology and Serology. Edisi Bahasa Indonesia : Imunologi dan Serologi Klinis Modern untuk Kedokteran dan Analis Kesehatan. Jakarta : EGC.
Janeway CA Jr, Travers P, Walport M, et al. 2001. Immunobiology: The Immune System in Health and Disease. 5th edition. New York: Garland Science.



Komentar