Cari Blog Ini
Rasulullah saw bersabda "Ikatlah Ilmu dengan Tulisan"_____ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا، وَرِزْقًا طَيِّبًا، وَعَمَلًا مُتَقَبَّلًا Ya Allah … aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rizki yang thayyib, dan amal yang diterima"
Unggulan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Label
Diposting oleh
Muh. Reza Jaelani Science Communicator
REAKSI ANTIGEN-ANTIBODI
Tinjaun Hukum Fisikokimia dalam Reaksi Antigen-Antibodi
Antigen dan
antibodi berikatan secara spesifik melalui ikatan situs-situ aktif tertentu.
Bagian antigen yang berikatan dengan antibodi disebut dengan epitop, sedangkan
bagian antibodi yang berikatan dengan epitop dikenal dengan region Fab (Fragmen
Antibodi binding site) atau paratop. Ikatan antigen-antibodi merupakan reaksi
netralisasi, reaksi oponisasi yang bertujuan memblok kerja pembawa antigfen
baik itu mikroba, maupun sel yang abnormal, atapun hapten yang terikat dengan
substansi lain.
Reaksi
antigen-antibodi dikaji dalam serologi. Ser0logi bekerja dengan cara
mereaksikan serum yang diduga mengandung antisera (antibodi) pada sejumlah
bahan yang mengandung antigen. Antigen yang dimaksud tidak terbatas hanya pada
antigen dari substansi hidup seperti bakteri, virus, atau jamur saja, namun
telah mencakup pengembangan untuk deteksi analit dengan kadar rendah seperti
hormon, enzim, dan tumor marker.
Perlu diketahui
bahwa interaksi antigen-antbodi tidaklah sesederhana yang terbayang, namun
terjadi dalam tahapan-tahapan yang kompleks serta banyak faktor yang
mempengaruhinya perlu pengkajian yang lebih detail mengenai interaksi ini.
Arrhenius dan Madson pada tahun 1902 mengusulkan agar interaksi
antigen-antibodi ditinjau dari segi hukum fisikokimia dan termodinamika. Karl
Landsteiner yang menemukan penggolongan darah AB0 telah banyak berkontribusi
dalam membangun dasar-dasar interaksi antigen-antibodi seperti spesifisitas
reaksi, kekuatan reaksi yang bervariasi dipengaruhi konsentrasi antisera dan
antigen yang direaksikan, serta beragam faktor mempengaruhi.
Atas dasar-dasar
itu maka diketahui bahwa interaksi antigen-antibodi mengikuti hukum
kesetimbangan kimia, dimana reaksi tidak selalu berjalan linear tetapi ada
titik dimana kesetimbangan tercapai.
Interaki antigen-
antibodi baik in vitro maupun in vivo dapat dibagi menjadi 3 fase
reaksi (Primer, Sekunder, dan Tersier). Setiap fase reaksi dewasa ini telah
melahirkan berbagai jenis tes imunologi.
INTERAKSI ANTIGEN-ANTIBODI FASE (I) PRIMER
Fase pertama ini
dapat terjadi secara in vivo dan in vitro,
pada fase ini antibodi tersusun atas rantai polipeptida yang termodifikasi
memiliki situs-situs aktif (paratop/Fab) yang dapat mengenali bagian antigen
(epitop). Epitop dan paratop yang bertemu kemudia akan saling berikatan.
Pembentukan reaksi ini mengikuti hukum kesetimbangan kimia.
Ag + Ab ó Ag-Ab
Panah bolak-balik
menandakan reaksi bersifat reversible atau bolak (setelah terbentuk ikatan
Ag-Ab, ikatan tersebut dapat terdisosiasi/lepas), karena reaksi ini bersifat
reversible maka memiliki harga konstanta kesetimbangan (K).
Kesetimbangan akan
terjadi jika konsentrasi antigen dan antibodi yang direaksikan tepat. Dari
persamaan ini dapat diperoleh berapa konsentrasi antigen dan antibodi yang
harus direakikan dalam sebuah analisis agar tidak terjadi reaksi balik (lepas
ikatan yang menyebabkan hasil reaksi negatif palsu).
Harga
kesetimbangan reaksi dapat diketahui melalui metode Dialisis Ekuilibrium (Note
: contoh metode ini dikembangkan untuk pemeriksaan aviditas Anti Toxoplasma
IgG, penentuan free testosteron).
Bagan sederhana tersaji pada gambar di bawah ini.
Kita contohkan
penentuan aviditas anti Toxoplama IgG (Ab) dari serum. Pada prinsipnya antibodi
dan antigen ditempatkan dalam sebuah wadah yang terpisah dengan membran
semipermeable yang hanya dapatdilewati antigen. Antigen yang berlabel (untuk
memudahkan pendeteksian) akan berdifusi ke bagian yang terdapat antibodi
kemudian akan saling berikatan. Pada bagian tempat antigen antigen maka
konsentrasi antigen akan berkurang (dot merah berkurang, garis grafik merah
turun), sedangkan pada bagian antibodi akan terbentuk kompleks Ag-Ab yang
semakin banyak (garis grafik hitam naik, Ab ditempelin Ag). Kesetimbangan
tercapai jika sudah tidak ada lagi perubahan konsentrasi dikedua sisi artinya
reaksi berjalan konstan. Maka harga K dapat diketahui.
2Ag + Ab ó Ag2Ab
Contoh : Pada
reaksi IgG ingat IgG memiliki 2 Fab jadi 1 Ab mengikat 2 Ag
|
[Ab]
|
[Ag]
|
[Ag2Ab]
|
mula-mula (a)
|
15
|
40
|
0
|
Bereaksi (b)
|
10
|
20
|
10
|
Kesetimbangan (c= a-b)
|
5
|
10
|
10
|
Perhatikan
Antigen selalu ditaruh berlebih. Jika dianggap semua Ab bereaksi maka jumlah
antigen yang bereaksi sebanyak 2 x Ab (koefisien) = 20. Dari 10 Ab dan 20 Ag
akan terbentuk 10 ikatan Ag-Ab (1 Ab mengikat 2 Ag). Di akhir kesetimbangan
reaksi (3) masih tersisa 5 Ab, 10 Ag yang tidak berdifusi, dan terbentuk 10
ikatan Ag-Ab. Dari sini kita hitung kesetimbangan reaksi. Setiap koefisien
menjadi pangkat.
= 2 x 10-2
(Konstanta Kesetimbangan)
Kenapa tercapai
kesetimbangan, tidak bereaksi semua kenapa?
Berhubungan dengan kinetika kelajuan reaksi yang berhubungan dengan
tumbukan antar molekul. Analoginya ddalam sebuah ruangan bioskop terdapat 100
orang penonton, kemudian alarm kebakaran berbunyi, pintun darurat hanya ada 1
pintu di bagian belakang. Saking paniknya pada saat mula-mula orang-orang akan
berebut keluar pintu saling sikut kanan kiri hamper semua bagian tubuh saling
dorong-dorongan gak peduli laki-laki perempuan campur baur saling berhimpitan kan
nyari istri saya mana, suami saya mana, anak saya mana, pacar saya mana, kalau
sebagain sudah keluar maka kerumunan itu pun jadi terartur lagi sudah saling
ketemu kumpul, paling yang tersisa hanya yang jomblo-jomblo aja.
Nah molekul pun dalam menbentuk ikatan seperti
halnya kerumunan tadi, molekul-molekul mula-mula akan saling tumbuk menumbuk,
kalu ketemu yang cocok maka dia akan berpasangan (ketemu ikatan yang pas),
ketika sebagian besar sudah berikatan maka intensitas tumbukan akan berkurang
juga, maka seiring waktu ikatan tidak akan terjadi lagi jadilah molekul itu
jomblo.
Ag-Ab juga sebuah molekul ikatan mereka
dipertemukan melalui interaksi seperti ilustrasi tersebebut. Ketika sudah mulai
teratur lagi maka tercapailah titik kesetimbangan.
Dalam reaksi fase in vivo mekanisme alamiah ini
bermanfaat sekali agar tidak terbentuk agregat kompleks antigen-antibodi yang
berlebih yang memicu inflamasi berlebihan yang merusak jaringan, sisa antigen
pun dalam tubuh yang tidak terikat antibodi akan diproses oleh sejumlah fagosit
yang tujuannya memperkuat memori sel imun serta mengirim signal ke banyak
banyak komponen imun apakah produksi antibodi dilanjutkan atau diperlambat, ini
cerita simpelnya tahapannya sebenarnya kompleks. (Nikmat karunia Alloh)
Dalam grafik terlihatlah grafik hitam dan merah saling berhimpit yang
menggambarkan kelajuan reaksi yang konstan.
Bagaimana kalau
komposisi reaksinya diubah?
Sesuai dengan azas
Le-Chartelier tentang kesetimbangan kimia maka nilai K akan selalu konstan pada
setiap kondisi, yang akan berubah hanyalah jalannya reaksi. Ada beberapa faktor
yang mempengaruhi laju reaksi (pembentuka ikatan antigen-antibodi) seperti
konsentrasi, temperatur, bentuk dan ukuran molekul, serta keberadaan zat
pengganggu.
Jika kita menambah
mengurangi reagen dalm pemeriksaan pasti berdampak pada reaksi ikatan ini.
Misal harunya mencapur 15 Ab dan 40 Ag
tetatpi karena satu sebab dan lain hal yang direaksikan hanya setengahnya, maka
otomatis ikatan Ab-Ag pun yang terbentuk bukan seperti seharunya lagi tapi
menjadi lebih kecil.
Yang bereaksi
hanya 5 Ab dan 10 Ag, dari semula 7,5 Ab dan 20 Ag nilai K = 2 x 10-2
, berapa Ikatan yang terbentuk?
Dari rumus di atas
hanya akan diperoleh hanya sebanyak 5 Ag-Ab, jika ini terdeteksi alat/diamati
secara visual maka nampak jumlah yang lebih sedikit. Dapat menimbukan
kekeliruan interpretasi, apalagi pada tes-tes berbasis reaksi fase-II
(Aglutinasi, Presipitasi, Flokulasi butiran yang halus bahkan tak terbaca). So,
jangan sembarangan mengubah prosedur tanpa diverifikasi! Prosedur yang
tercantum pada insert kit sudah didapat dari hasil riset panjang buka coba-coba
saja.
Pada fase-1 ini hasil
reaksi sebenarnya belum dapat teramati dengan mata telanjang ataupun dengan
bantuan mikroskop sekalipun. Ikatan-ikatan antigen-antibodi masih
terpisah-pisah. Untuk itu dalam reaksi diperlukan “label” seperti konjugat
pewarna dalam reaksi ELISA, label radioaktif pada tes RIA (Radio Immunoassay),
label yang dapat berpendar (tes Immunofluoresen seperti imunohistokimia, ELFA),
atau label yang menghamburkan signal pada reaksi chemiluminesance (CMIA dan
ECLIA).
Reaksi
antigen-antibodi fase-1 merupakan tes yang paling sensitif dan spesifik, hanya
memerlukan pereaksi-pereaksi sedikit (rata-rata < 10 µL) sehingga limbah
yang dihasilkan pun lebih sedikit.
Contoh pengerjaan
tes-tes yang memakai prinsip fase-1 ini seperti yang sudah di sebutkan di atas
yaitu ELISA, ECLIA, CMIA, Immunofluosensi (beberapa tes Immunohistokimia dan
ELFA), dan RIA.
Metode ini
dikatakan paling sensitif dan spesifik karena tidak semua hasil ikatan Ag-Ab
dapat berlanjut ke fase-II membentuk kompleks presipitasi yang dapat teramati
tanpa bantuan label, sehingga analit dapat mendeteksi jumlah analit yang lebih
kecil dengan keakuratan yang masih baik.
INTERAKSI ANTIGEN-ANTIBODI FASE (II) SEKUNDER
Ikatan antigen dan
antibodi biasanya bermuatan netral, muatan-muatan yang netral cenderung untuk
berkumpul membentuk kompleks yang lebih besar. Kompleks ini disebut sebagai
kompleks imun. Dalam kondisi normal reaksi fase II hanya berlangsung secara in vitro, jika terjadi secara in vivo maka menimbulkan reaksi
hipersitivitas tipe III (ADCC) yang memicu kerusakan jaringan.
Jauh sebelum
dikembangkan tes-tes imunologi berbasi fase-I, pada awal mula pengembangan
serologi hampir semua tes berdasarkan reaksi fase-II ini. Percobaan paling
popular tentu saja percobaan Landsteiner yang mereaksikan sejumlah darah dan
antisera yang menjadi dasar penggolongan darah sistem AB0 berkat reaksi-reaksi
presipitasi.
Kompleks imun
merupakan gabungan dari ikatan-ikatan Ag-Ab yang saling terhubung dengan
berbagai macam ikatan intramolekuler seperti ikatan Van der Walls, Ikatan
Hidrogen, Ikatan Elektrostatik atau gaya dipol-dipol, serta gaya hidrofobik.
Ag-Ab akan berkumpul menjadi sebuah massa agregat berkat ikatan-ikatan ini.
Analogi, orang yang setipe akan berteman akrab dengan yang membuat dia nyaman
bisa menerima tipenya, mirip pemikirannya kan. Begitu juga dengan pembentukan
kompleks imun.
Pada tahap ini
kita perlu mengetahui pengelompokan reaksi-reaksi fase II ini agar tak salah
menginterpretasikan hasil. Jenis reaksi fase-II terdiri dari 3 jenis yaitu
presipitasi, flokulasi, dan aglutinasi. Ketiganya serupa tapi tak sama.
Flokulasi dan
aglutinasi pada dasarnya merupakan reaksi yang sama denga presipitasi. Semuanya
dimulai dari pembentukan kompleks imun dari ikatan Ag-Ab, jika agregat yang
terbentuk sangat besar maka kompleks tersebut akan mengendap dengan sendirinya
tanpa bantuan apapun, maka ini disebut Presipitasi.
Reaksi fase-II ini
juga mengalami fase kesetimbangan pembentukan ikatan, kemunculan presipitasi
sangat dipengaruhi perbandingan konsentrasi masing-masing zat yang direaksikan.
Mari kita pelajari
dengan ilustrasi di bawah ini. Percobaan ini dilakukan oleh Heidelberg dan
Kendall. Mereka mengimunisasi kelinci dengan putih telur (Ovalbumin) kemudia
serum yang diduga mengandung anti Ovalmunin di ambil dari kelinci tersebut.
Kemudian mereka melakukan percobaan mereaksikan serum dan ovalbumin dengan
beragam variasi konsentrasi dan kemudian diinkubasi dan diamati hasilnya dengan
menentukan presipitasi yang terbentuk serta apakah ada sisa antigen (ovalbumin)
atau antibodi (anti-ovalbumin) pada bersisa (Note : Ini mirip percobaan dialisis
ekuilibrium, hanya saja yang diamati reaksi fase-II).
Disediakan 7 buah
tabung reaksi, kemudian masing-masing tabung diisi dengan ovalbumin berurutan
dari tabung ke-1 (blanko) s.d ke-7 (0,15,30,60,90,120,150 µg). jumlah serum
yang ditempatkan ke dalam tabung semuanya sama sejumlah 500 µL, kemudian campuran
ini diinkubasi agar didapatkan presipitasi.
Grafik Keseimbangan Reaksi Ikatan Antigen-Antibodi
Kurva dengan sumbu
X jumlah antigen (W-Ag), dan sumbu Y jumlah antibodi menunjukan (W-Ab)
menunjukan bahwa reaksi pembentukan presipitasi tidak terjadi linear secara
terus menerus (tidak selalu semakin banyak yang direaksikan akan terus
terbentuk kompleks Ag-Ab). Pada tabung ke-1 tidak terjadi presipitasi, hal ini
penting dilakukan sebagai blanko (kontrol negatif) agar semua reaksi
presipitasi terjadi karena sebab reaksi antigen-antibodi, bukan karena sebab
fisikokimia lain seperti penggumpalan zat-zat pereaksi.
Pada tabung ke-2
mulai terbentuk presipitasi begitu juga tabung ke-3, namun setelah dianalisis
ternyata masih ada sisa antibodi bebas yang tidak bereaksi (Antibodi masih
berlebih), sedangkan antigennya semua bereaksi. Pada tabung ke-4 ada sebuah
titik dimana hampir seluruh antigen dan antibodi bereaksi membentuk ikatan
Ag-Ab sehingga pada tabung ke-4 mereka tidak mendeteksi lagi Ab dan Ag yang
tersisa bebas, mereka menamakan titik ini titik ekivalen reaksi, jumlah
antigen-antibodi setara. Jika reaksi berlanjut pada tabung ke-5 s.d ke-7 ada
sebuah fenomena dimana ada sisa antigen bebas.
Namun ada sebuah
kebingunan, jika jumlah antigen dan antibodi yang bereaksi setara (ekuivalen),
lantas kenapa ukuran presipitasi yang terbentuk tidak sama besar?
Kebingungan ini
berhasil dipecahkan oleh Marrack melalui teori kisi yang dikenal dengan Lattice theory. Perhatikan ilustrasi
gambar di bawah ini.
Kompleks imun yang
membentuk presipitasi merupakan gabungan dari ikatan-ikatan Ag-Ab yang
bereaksi. Selazimnya mereka bermuatan netral maka pada kondisi yang setimbang
ikatan-ikatan ini akan bergabung (c) menjadi kompleks imun berupa presipitasi
yang relatif besar. Pada tabung 2-3 dan 5-7 endapan nampak lebih kecil karena,
pada tabung 2-3 masih terdapat kelebihan antibodi yang berarti masih ada
tangan-tangan Fab bermuatan yang bebas (a). Selayaknya molekul yang bermuatan
sama maka mereka akan saling tolak-menolak satu sama lain, akibatnya kompleks
imun yang terbentuk labil dan berukuran kecil karena faktor muatan
elekstrostatik yang saling tolak menolak. Begipu juga pada kondisi kelebihan
antigen (b). antigen adalah molekul bermuatan yang akan saling tolak menolak,
menghambat pembentukan kompleks imun.
Tes presipitasi
sangat baik digunakan sebagai tes kualitatif. Contoh presipitasi pada reaksi
imunodifusi, antibodi dan antigen di tempatkan dalam sumur-sumur well kemudian
dibiarkan berdifusi pada media gel kemudian akan saling bertemu, Ag-Ab yang
cocok maka akan membentuk Ikatan Ag-Ag yang lama kelamaan akan makin banyak
yang dapat teramati nampak seperti garis tebal (Gambar).
Imunodifusi
Namun ada kalanya
kompleks antigen-antibodi tidak terbentuk membesar, sehingga tidak mengendap
hanya berupa serpihan-serpihan halus yang melayang. Fenomena itu disebut
sebagai flokulasi. Fenomena ini berkaitan juga dengan kompleks muatan yang
tidak sepenuhnya netral yang menyebabkan kompleks tidak terlalu besar. Analogi,
orang-orang tertentu yang pendiam kebanyakan hanya berkumpul dengan 2-3 orang
saja, karena tidak terlalu tertarik dengan keramaian. Contoh tes ini pengerjaan
Tes VDRL/RPR
Flokulasi
Presipitasi dan
Flokulasi dipandang tidak efisien dari segi waktu, karena memerlukan waktu yang
relatif lama. Flokulasi VDRL/RPR mungkin hanya perlu 8-10 menit dengan durasi
pengerjaan sampai keluar hasil sekitar 1 s.d 1,5 jam, namun untuk imunodifusi
memakan waktu berjam-jam bahkan ada yang 24 jam. Dari segi urgensi kegawat
daruratan waktu ini terlampau lama. Tes ini juga lebih baik kualitasnya jika
kita pandang dari kinetika kimia.
Prinsip dasar tes
aglutinasi adalah menggunakan antigen atau antibodi yang melekat pada suatu
substansi seperti sel atau komponen lateks. Tujuannya agar ikatan Ag-Ab yang
sedikit pun dapat dideteksi tanpa perlu terbentuknya kompleks imun yang besar.
Contohnya tes ASTO, antigen streptolisin O dikumpulkan melekat pada lateks,
sehingga apabila serum yang di tes mengandung antistreptolisin O maka akan
berkumpul pada komponen lateks karena berikatan dengan antigen yang ada disitu.
Tes yang paling sederhana tentu saja tes golongan darah AB0 dan Rhesus,
antigen-A, antigen-B, antigen-H (sebutan untuk goldar 0), Antigen-Rh menempel
pada permukaan sel eritrosit. Reagen Anti-A, Anti-B, Anti-D nanti akan mengikat
antigen pada permukaan sel eritrosit, ikatan-ikatan ini akan menyatukan sel-sel
eritrosit yang terikat antigennya membentuk aglutinasi. Contoh lain tes Coomb
direk/indirek, tes widal, tes Hemaglutinasi TPHA dan virus Influenza, tes
hemolisis, dsb.
Kelebihan tes
Aglutinasi dibandingkan tes presipitasi adalah kemampuan tes ini menentukan
titer, pada tes flokulasi juga dapat ditentukan titer, namun tetap tes
aglutinasi lebih baik dalam menentukan titer karena lebih sensitif.
Tes aglutinasi
pada penentuan titer mensyaratkan adanya pengenceran serial baik pengenceran
langsung seperti ilustrasi di bawah ini, atau secara tidak langsung seperti
pada tes Widal (komposisi serum 80,40,20,10, 5 uL).
Penentuan Titer Antibodi
Tujuan dari
pengenceran serial ini adalah menghindari efek prozone. Dimana aglutinasi tidak
terbentuk yang diakibatkan kelebihan antibodi yang direaksikan menghambat
pembentukan aglutinasi dengan sebab efek muatan yang dikenal potensial zeta
menghalangi pembentukan kompleks antigen-antobodi (aglutinasi negatif).
INTERAKSI ANTIGEN-ANTIBODI FASE (III) TERSIER
Kebalikan dari
reaksi fase II, reaksi fase III hanya terjadi secara in vivo dan itu pun hanya terjadi dalam kondisi abnormal dan
bersifat patologis. Reaksi fase III merupakan kelanjutan dari reaksi fase II,
jika secara in vivo terjadi
pembentukan kompleks antigen-antibodi maka kompleks ini akan mengundang
sejumlah mediator imunitas, seperti komplemen, enzim proteolitik, termasuk
sitokin pro-inflamasi dan sejumlah sel-sel fagosit.
Reaksi yang
terjadi akan menyebabkan kerusakan jaringan yang diakibatkan inflamasi oleh
faktor humoral dan seluler imunitas. Kompleks imun dapat mengendap dimana saja
bisa di kulit, di ginjal, bahkan di dalam persendian. Manifestasi dari reaksi
ini seperti reaksi Arthus, serum sickness,
dan penyakit terkait kompleks imun.
Pada reaksi Arthus
terjadi ketika antigen disuntikan secara intravena bertemu dengan antibodi yang
sudah terdapat di dalam darah. Seketika antibodi dan antigen akan bereaksi
membentuk kompleks imun, jika kompleks ini terus membesar maka akan semakin
meningkatkan aktivasi sistem komplemen. Sebagaimana diketahui komplemen bekerja
untuk menghancurkan antigen namun jika reaksi ini tidak terkendali komponen
komplemen C3a dan C5a menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah yang
dapat memicu kebocoran yang berlanjut pad udema (pembengkakan jaringan akibat
cairan). Sistem komplemen juga bersifat kemotaktik terhadap sel-sel fagosit
termasuk trombosit. Reaksi ini akan memicu terjadinya thrombosis atau sumbatan,
yang pada akhirnya akan berujung pada pendarahan dan nekrosis jaringan
setempat. Dari mekanisme ini menjadi alasan kenapa vaksinasi aktif tidak
diberikan secara intravena, karena dapat memicu reaksi Arthus jika antobodi
yang bersangkutan telah ada sebelumnya selain karena bukan rute imunogenik.
Beberapa penyakit
juga terkaitan dengan reaksi fase III ini, seperti kasus Rheumatik Jnatung yang
ditimbulkan Streptococcus A, komponen
bakteri atau bakteri itu sendiri dapat masuk ke peredaran darah (bakteriemia)
secara khusus komponen ini memiliki afinitasyang baik terhadap sel-sel jantung.
Penempenlan komponen asing ini menyebabkan sel dikenali sebagai sesuatu yang
asing bagi sistem imun dan menyebabkan daerah ini mengalami reaksi
antigen-antibodi, terbentuk laj kompleks imun yang selanjutnya memicu reaksi
inflamasi yang merusak jaringan. Contoh lain ialah pada sindrom Goodpasture
(yang ditandai pendarahan di jaringan paru-paru), dan Glomeronefritis (adanya
pembentukan kompleks antigen-antibodi di membran basalis epitel ginjal).
Dalam praktik
laboratorium reaksi fase III ini dikembangkan menjadi beberapa tes yang terkait
dengan uji hipersensitivitas, seperti tes Mantoux, dan tes reaksi alergi obat
dengan cara menyuntikan obat yang dianggap sebagai antigen secara subkutan.
Kulit diketahui
juga sebagai salah satu organ yang terkain sistem imunitas karena pada kulit
terdapat sistem SALT (Skin Association
Lympoid Tissue). Dalam kulit terdapat sel-sel imunokompeten (APC) yang
dikenal dengan sel Langerhans, sejumlah seri sel limfosit, serta ada sel-sel
efektor seperti sel mastosit atau sel mast. Sel-sel ini lah terutama sel mast
yang digunakan untuk pengujian reaksi alergi obat yang terkait
hipersensitivitas tipe I atau umum dikenal dengan alergi dengan mediator utama
pelepasan histamin.
Semoga Bermanfaat
Muhammad Reza
Jaelani
Referensi
Subowo. 2014. Imunobiologi.
Edisi 3. Jakarta : Sagung Seto
Kresno, SB. 2010. Imunologi :
Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Jakarta : Badan Penerbit FKUI
Olson, KR., Nardin, ED. 2016 :
Contemporary Clinical Immunology and
Serology. Edisi Bahasa Indonesia : Imunologi dan Serologi Klinis Modern
untuk Kedokteran dan Analis Kesehatan. Jakarta : EGC.
Janeway CA Jr, Travers P,
Walport M, et al. 2001. Immunobiology:
The Immune System in Health and Disease. 5th edition. New York: Garland
Science.
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Label:
antibodi
antigen
Immunologi
reaksi
QA, MLS, Biomedic I Key Expertise : QMS, QC, Statistical Analysis, Immunology
Komentar
Posting Komentar