Langsung ke konten utama

Unggulan

BEBERAPA CATATAN UNTUK TES WIDAL

Lelah Mereka di Jalan Takwa


Ini bukan tulisan saya, hanya menyalin ulang dari e-book biografi Kang Aher (Gubernur Jawa Barat. Sosok yang dekat dengan kita. Ingin bertemu beliau rasanya, amin). Biografi ini berjudul Aher Undercover yang dibagikan secara Cuma-cuman ketika pilgub. Alhamdullih kebagian ^^. Ini kisah cintah 2 orang shaleh dan shaleha yang menurut saya, keluarga idaman yang sakinah dan mawadah. Cerita para staf kang Aher dan ibu Netty (istri kang Aher)
Ini ceritanya, mari kita baca.
Setelah berkali ke tempat ini, mungkin malam kemarin akan menjadi pengalaman yang paling berkesan. Tempat ini dulu rasanya sakral sekali. Hanya orang tertentu yang bisa masuk, para gegeden saja. Mereka berkunjung, berdiplomasi, atau sekadar berpesta. Nuansa militeristik sangat kentara. Setiap perilaku tuan rumah rasanya ibarat instruksi. Namun, sejak ia datang, tempat ini sudah seperti balai umum. Setiap orang boleh masuk. Ekspatriat, pejabat, demonstran, petani, nelayan, mahasiswa, rakyat biasa, RT/RW, kades, buruh, serta masyarakat dari beragam elemen, status, dan strata tidak asing ada di sini. Sebagian besar dari mereka pun selalu berkomentar serupa, “Bungah, mimpi rasanya menginjakkan kaki di tempat ini.”
Awal ia masuk ke tempat ini, yang berarti ia mulai menjalankan fungsinya sebagai pemimpin, banyak orang meragukan. Setiap jajak pendapat dan survei selalu menunjukkan antusiasme dan atensi rendah dari masyarakat kepadanya. Beragam komentar miring dari para tokoh parahyangan rajin beredar di media. Isinya sama. Mereka tidak merasakan dampak kepemimpinannya. Mereka menuntutnya mundur.
Ia yang tidak dikenal, mesti jadi pejabat publik dan menghadapi badai kritik. Jika bukan orang yang menggantungkan diri pada kasih sayang Allah, sungguh akan gusar diri dipermainkan opini.
Namun, ia bertahan. Bertahan dan terus berkarya. Ia jawab semua dengan bukti, dengan bekerja. Ini yang unik. Justru saat segala upayanya perlahan menjawab kritik dan kekhawatiran itu, tidak ada yang menyambungkabarkannya pada masyarakat. Segala kerja keras yang berbuah penghargaan nasional bahkan internasional itu, redup dari ekspos media massa.
Jika terbiasa datang ke tempat ini dan berinteraksi dengan para staf, akan terdengar keluh dan ekspresi nyaris sama. Mereka pegawai kerumahtanggaan, penjaga, terlebih para pengawal, merasa lelah bukan main. Mengapa demikian? Coba saja ikuti aktivitas orang satu ini seminggu penuh dan selamat merasakan kelelahan luar biasa. Saya tidak melebih-lebihkan. Jika para pengawalnya yang terlatih dan bergantian sif tiga harian saja bisa sangat kelelahan, apalagi kita yang tidak terbiasa?
Ada satu hal yang selalu jadi pertanyaan banyak orang di tempat ini, juga dari orang-orang yang mengenalnya, atau terbiasa berinteraksi dengannya. Dari mana ia bisa mendapatkan energy untuk memenuhi semua aktivitas itu?
Banyak yang berkomentar. Obat, suplemen, kurma, madu, dan jawaban tebak-tebak lainnya. Tetapi, sebagai Muslim, saya rasa kita tahu jawabnya. Bahwa orang yang tengah bermujahadah di jalan Allah, yang memiliki visi besar, pasti akan selalu memiliki spirit besar untuk bekerja, bekerja, dan bekerja.
Ya, kedekatan kepada Allah itulah sumber energi utama orang-orang yang berjuang dengan benar. Bila bukan karena-Nya, tidak perlu diragukan bahwa niat yang salah, malas, dan putus asa, akan menggerogoti amanah kepemimpinan nantinya.
Sepuluh hari terakhir Ramadhan adalah masa pembuktian seorang Muslim. Bukti atas tekad kuat, bukti kualitas keimanan. Menyesal karena malam ke-21 saya tidak iktikaf, Jumat 10 Agustus 2012 saya putuskan untuk bermalam di masjid. Kebetulan, kala itu saya memang tengah berada di sana, di tempat orang itu berdinas.
Selepas dua rakaat shalat dan beberapa lembar tilawah, ternyata badan sudah tidak bisa diajak kompromi. Sekitar pukul 10 lewat, terdengar suara sirine dan rangkaian mobil memasuki rumah dinas ini. “Sang istri baru pulang”, tebak saya. Lalu, pukul 11 lewat, kembali terdengar gaduh yang sama. “Nah, kali ini sang suami yang pulang”, terka saya lagi. Lelah, saya pun rebah. Tak ada siapa pun disini, cuma saya sendiri.
Alangkah kaget, sekitar pukul 00.30, dua sosok itu memasuki masjid. Saya yang tengah terkantuk-kantuk terlonjak dan membalas sapaan mereka seadanya. Karena gugup dan malu, kantuk pun rasanya terusir dan saya kembali meneruskan tilawah.
Lelaki itu lalu melaksanakan shalat, sekitar 3 meter saja di samping kiri saya, dan sang istri melakukan hal yang sama di belakang. Selepas shalat, ia membaca beberapa lembar Al-Qur’an, dengan suara yang telah parau. Tak lama, tilawah parau itu pun telah jelas jadi dengkuran.
Dalam hati, saya tersenyum. Menganggap wajar suara dengkuran itu. Dengkuran orang lelah yang siangnya telah melakukan siding terbatas bersama Presiden RI di Jakarta dan sorenya bersilaturahmi dengan warga Purwakarta. Malamnya, ia tarawih keliling di sebuah masjid di kawasan Bandung.
Selepas dirasa cukup porsi tilawah malam itu, saya kembali beranjak shalat. Dua rakaat panjang kembali. Merapal tiga halaman pertama surah kedelapan, Surah Al-Anfaal, surah apik yang diisi pesan-pesan perjuangan.
Ketika salam, baru saya melihat mereka berdua di belakang. Sang istri tersandar pada lemari penyimpanan mukena, lelapberbekal selimut. Sang suami, bersandar pada sang istri. Lelap dengan dengkuran yang terdengar lebih damai. Pemandangan yang sangat indah, damai, dan mendamaikan.
Kiranya setiap pemimpin seperti itu. Di ujung lelah atas aktivitas yang padat, mereka berserah kepada Allah. Mereka pertemukan iman mereka dengan jaminan dan janji-janji Allah atas berjuta karunia-Nya di sepuluh malam terakhir.

Saat kemudian subuh datang, lelaki itu sudah siaga di masjid. Saya jadi orang ketiga yang memasuki masjid setelah ia dan muazin. Selepas iqamah, mantap ia melangkah ke mimbar imam. Mengecek anak, keenamnya ada. Begitu pun sang istri. Mantap ia bertakbir memimpin shalat, semantap ia memimpin Jawa Barat.

#dua orang yang mencintai karena Allah.

Komentar