BEBERAPA CATATAN UNTUK TES WIDAL
Tes widal merupakan salah satu jenis
tes laboratorium yang banyak dikerjakan. Pemeriksaan ini sering diminta oleh
dokter sebagai penunjang diagnosis awal bagi pasien-pasien suspect deman tifoid
(tifus). Namun, di Amerika dan Eropa tes ini sudah jarang diminta sebagai
penunjang diagnosis tifoid. Mereka lebih memilih melakukan tes anti IgM
Salmonella atau di Indonesia dikenal dengan merk dagang Tubex TF. Dari segi
harga memang, tes IgM Salmonella relatif lebih mahal jika dibandingkan dengan
tes Widal yang rata-rata berkisar hanya Rp 100K dan laboratorium relatif untung
dengan harga reagen yang lebih murah.
Walaupun hanya sebagai tes presumtif,
Widal setidaknya telah banyak menolong di awal-awal perkembangan tes
laboratorium. Namun seriring waktu jika ditinjau dari segi pengetahuan
imunologi yang terus berkembang, Widal memiliki beberapa catatan
kontroversial dalam banyak aspek, sejak pertama kali dikenalkan 100 tahun
silam. Dalam tulisan ini, penulis memaparkan 3
catatan untuk tes Widal, diantaranya sebagai berikut:
Antigen Reagen Widal Tidak Spesifik
Tes Widal pertama kali dikembangkan
pada awal abad 20 saat pengetahuan imunologi di masa itu masih sangat minim.
Tes widal didasarkan atas reaksi antigen-antibodi fase II dengan jenis
aglutinasi. Reaksinya dilakukan dengan mencampurkan anti-sera salmonella dalam
serum pasien terhadap antigen salmonella sp yang berupa flagel ( H) dan
bagian somatik (O) bakteri. Antisera atau antibodi yang dideteksi pada tes
widal merupakan antibodi heterogen (terdiri dari banyak fraksi).
Jika ditinjau dari pengetahuan
imunologi modern, telah diketahui bahwa anti-sera atau yang dikenal dengan
antibodi terbagi menjadi beberapa kelas berdasarkan bentuk dan rantai
proteinnya (IgA,IgD, IgE, IgG, dan IgM), yang masih-masing masih terfraksi lagi.
Setiap fraksi menandakan status infeksi tersebut.
Antibodi fase akut yang pertama kali
muncul ketika infeksi adalah kelas IgM setelah itu dalam waktu 4-7 hari
terbentuklah IgG. Penentuan jenis antibodi ini penting dalam status klinis,
apakah infeksi ini baru atau sudah lama, atau mungkin sisa antibodi yang lalu.
Pada tes widal status fase-fase ini
tidak dapat dibedakan karena semua fraksi antibodi ikut terdeteksi. Kalaupun
hendak membedakan fase maka perlu pemeriksaan ulang 2-3x dari pemeriksaan
pertama. Deman tifoid dinilai jika ada kenaikan titer yang berarti (minimal 4x
titer awal). Hal ini sungguh tidak efisien bagi pasien dari segi kenyamanan dan
biaya. Walaupun penentuan kenaikan titer ini jarang dilakukan, karena pada
beberapa kondisi, justru ditemui tidak adanya kenaikan titer (Wafa, et.al.,
2010)
Masalah timbul lagi pada individu
dengan riwayat pernah mengalami tifoid atau tinggal yang tinggal di lingkungan
endemic Salmonella sp 8-10% populasi tersebut memiliki titer Widal 1/20
s.d 1/80, walaupun dalam keadaan tidak tifoid. Hal ini menjadi rumit dan bias
dalam penentuan diagnosis. Next di point 2 tentang cut off value.
Dari segi kualitas reagen (antigen)
yang digunakan juga tidak terlalu spesifik. Berdasarkan pengetahuan
imunologi modern, antigen bukan lah sebuah bahan yang tersusun seragam,
melainkan terdiri atas banyak region-region. Region yang bereaksi dengan
antibodi hanyalah region tertentu yang disebut epitop (Perhatikan gambar di
bawah).
Berdasarkan sejumlah penelitian pada
tes widal menunjukan adanya cross reaction (reaksi silang) dengan
antibodi lain. Jika suatu tes memiliki banyak cross reaction maka dengan
sendirinya tingkat spesifisitas (keakuratan) tes menurun. Hal ini dapat
dipahami dari cara bagaimana antigen H (flagel) dan antigen O (Somatik) di
dapat dari Salmonella sp. Kedua antigen ini diperoleh dengan
teknik-teknik imunologi sederhana. Belum ada proses purifikasi, isolasi, dsb
seperti kebanyakan antibodi yang diproses secara lebih baik.
Sebagai contoh, jika bagian flagel (
antigen H) diperbesar maka akan terdiri dari beberapa region. Setiap region ini
adalah epitop dari antigen namun tidak semua bersifat imunogenik, pada beberapa
region memiliki kemiripan struktur dengan bakteri lain, sehingga dapat bereaksi
dengan antibodi lain (cross reaction).
Mapping Antigen Salmonella |
Salah satu indikasi adanya cross
reaction ialah sering ditemui reaksi aglutinasi yang lemah yang
ditandai gumpalan aglutinasi yang sangat halus, interpretasinya dapat
salah jika dikonfirmasi dengan metode baku. Berikut tabel beberapa
golongan bakteri yang menimbulkan reaksi widal positif.
Terlihat pada tabel tersebut, pada
titer s.d 100 (1/20, 1/40,1/80) yang paling banyak menyebabkan reaksi tes widal
positif adalah bakteri gram negatif (E.coli). Pada kondisi dengue
juga dapat menimbulkan reaksi widal tes positif, terutama pada kondisi
trombositopeni yang parah yang membuat barrier endotel pembuluh darah lemah.
Golongan bakteri yang menimbulkan
reaksi false positif terutama pada tes antigen O. Hal tersebut dapat dipahami
karena antigen O merupakan antigen somatik yang terutama tersusun dari
LPS (Lipopolisakarida). LPS memang bersifat antigenik dan imunogen (bereaksi
dengan antibodi dan memicu respon imun). Pada bagian tertentu LPS memiliki
kesamaan struktur yang dapat dikenali TLR sel-sel fagosit termasuk sel APC
sehingga antibodi-antibodi lain yang sebenarnya terbentuk bukan karena
keberadaan Salmonella sp. dapat terdeteksi pada tes widal akibat
kemiripan struktur ini. LPS pun sebenernya imunogen yang yang bersifat
multideterminan (banyak antigen-epitop) sehingga antibodi yang terbentuk pun
tidak spesifik terhadap satu bakteri saja.
Multi
Interpretasi Cut off Value
Cut off Value atau sederhanya
batasan nilai rujukan antara kondisi sakit dan tidak sakit, normal atau
abnormal. Dalam status infeksi, batasan ini penting untuk mendiagnosis. Jika
suatu hasil pemeriksaan sulit ditentukan cut off value-nya maka
dengan kata lain pemeriksaan tersebut tidak layak digunakan sebagai pemeriksaan
konfirmasi. Tes tersebut perlu disertakan dengan pemeriksaan lainnya baru dapat
bermakna dalam diagnosis.
Cut off Value didapat
menggunakan kalkulasi sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan dalam
mendeteksi suatu kondisi dibandingkan terhadapa metode baku emas (gold
standar). Perhitungannya dapat dilakukan dengan metode ROC (Receiver
Operating Characteristic). Standar baku untuk penengakan diagnosis tifoid tentu
saja metode kultur. Dalam banyak literatur, tes widal memiliki nilai Cut
off point pada titer 1/80 s.d 1/160 bahkan ada yang berpendapat baru tifoid
jika titer mencapai >= 1/320.
Namun ada ambiguitas dalam nilai
rujukan, muncul -/Negatif untuk tes Widal. Pada sebagaian orang awam atau
bahkan sebagian klinisi pun terdapat perbedaan persepsi dengan nilai rujukan
ini. Sebagian ada yang berpendapat jika hasil widal positif maka dipersepsikan
pasien tersebut tifoid !. Padahal jika mengingat status tes-nya sebagai uji
presumtif dan cerita di point 1, maka anggapan ini keliru.
Masalah nyata juga di lapangan. Tingkat
cut off >= 1/80 saja masih kemugkinan orang itu tidak terkena
tifoid. Pada sejumlah studi menunjukan rata-rata 8-10% orang sehat memiliki
titer widal 1/80, entah itu terbentuk secara alamiah dari respon imunotoleran,
ataupun orang tersebut memang pernah tifoid sebelumnya dalam derajat yang
ringat, ataupun karena faktor cross reaction.
Tingkat >10% dalam rentang klinis
masih termasuk besar, 1-2 orang dari 10 orang dapat terdiagnosis false
positive. Sampai sekarang, belum disepakati nilai titer rujukan yang pas
pada tingkat sensitivitas dan spesifitas yang dikehendaki (>90%).
Sebagian klinisi cenderung memilih
nilai titer 1/80 sebagai cut off, atau sebagian malah mengganti
tes ke anti Salmonella IgM yang relatif lebih spesfik. Walaupun batasan anti
Salmonella IgM pun masih ada catatan borderline skala 2-4, sehingga
perlu dikaji lebih lanjut.
Titer widal 1/80, bukan lah cut off
yang final. Beberapa penelitian mengkonfirmasi, perlu dipertimbangkan variasi
dalam populasi. Salah satunya faktor usia. Respon imun tifoid pada anak-anak
dan orang dewasa berbeda. Pada pasien-pasien balita suspect tifoid
apalagi bayi jika dokter memintakan tes widal, perlu benar-benar tes ,
mengingat respon pembentukan antibodi balita masih dalam tahap perkembangan,
dan sub populasi sel-sel imunokompeten (Sel APC) dan sel B dan sel T masih
dalam tahap “belajar” mengenal beragam antigen, sehingga kemungkinan titer
widal yang terbentuk masih rendah. Studi juga menunjukan bahwa cut off
titer rata-rata berkisar < 1/40 s.d 1/80 untuk H, dan O 1/20 s.d 1/80.
Kasus lain berkaitan dengan pasien imunocompromisse (kelainan imun yang
ditandai defisiensi pembentuka imun, ex : pengidap HIV-, pengguna obat
imunosupresan, steroid, dsb) kemungkinan titernya lebih rendah dari 1/80 dapat
terjadi atau bahkan lebih tinggi pada pasien HIV yang mengkonsumsi ARV.
Selain faktor usia pasien, beberap
studi yang menunjukan strain-strain Salmonella sp. dari daerah yang
berbeda menunjukan nilai cut off yang berbeda juga.
Selain
itu pada studi Waffa et.al (2011), ternyata merk tes widal yang
berlainan juga memiliki nilai sensitivitas dan spesifisitas yang berbeda juga.
Studi ini di lakukan di Mesir, untuk Indonesia penulis belum menemukan jurnal
seperti studi ini.
Studi ini dilakukan dengan 91 sampel
pasien tifoid yang sebelumnya telah diperiksan anti IgM LPS Salmonella sp.-nya
dengan metode ELISA sebagai metode standar, kemudian serum diperiksa dengan 4
jenis reagen widal dari 4 merk yang berbeda. Hasil yang dianggap positif sejati
jika hasil pada reagen uji sama dengan hasil metode standar, begitupun untuk
negatif sejati. Jika hasil reagen uji positif tetapi negatif pada hasil metode
standar maka disebut positif palsu, sebaliknya jika hasil reagen uji negatif
tetapi hasil metode standar positif maka hasil dianggap negatif palsu. Dari
perhitungan didapatkan nilai-nilai sebagai berikut :
Sensitivitas : semakin besar nilannya
semakin baik, karena kadar yang kecil mudah terdeteksi. Sebaliknya jika semakin
kecil maka semakin tidak peka mendeteksi. Simpelnya jika x ada maka dia katakan
ada.
Spesifisitas : semakin besar nilannya
semakin baik, karena dapat membedakan mana yang benar-benar kondisi sakit
dengan yang sebenarnya tidak sakit. Simpelnya jika yang terdeteksi itu adalah x
maka ia katakan benar itu adalah x.
Sensitivity, specificity and accuracy of the 4 Widal brand for anti-H antibodies of 91 random serum samples of the 150 clinically diagnosed typhoid fever cases using IgM anti-LPS ELISA as a reference test at three cut-off values
Widal Brand
|
|||
Using a cut-off
1/80
|
|||
Sensitivity
|
Specifity
|
Accuracy
|
|
Remel
|
94.02%
|
8.33%
|
71.42%
|
Biosystems
|
91.04%
|
16.66%
|
71.42%
|
Biotech
|
86.56%
|
20.83%
|
69.23%
|
Dialab
|
73.13%
|
45.83%
|
65.93%
|
Using a cut-off
1/160
|
|||
Sensitivity
|
Specifity
|
Accuracy
|
|
Remel
|
83.58%
|
20.83%
|
67.03%
|
Biosystems
|
80.59%
|
29.16%
|
67.03%
|
Biotech
|
73.13%
|
54.16%
|
68.13%
|
Dialab
|
55.22%
|
91.66%
|
64.83%
|
Using a cut-off
1/320
|
|||
Sensitivity
|
Specifity
|
Accuracy
|
|
Remel
|
56.71%
|
79.16%
|
62.63%
|
Biosystems
|
47.76%
|
74.07%
|
57.14%
|
Biotech
|
35.82%
|
91.66%
|
50.54%
|
Dialab
|
19.40%
|
100.00%
|
40.65%
|
Berdasarkan data tabel di atas terlihat
bahwa setiap reagen uji memiliki tingkat sensitivitas dan spesifisitas yang
berbeda. Mari kita fokus ke cut off 1/80 (bagian tabel paling
atas). Titer 1/80 sensitivitanya memang baik 70-90% lebih penderita tifoid
menunjukan reaksi positif tes Widal dengan titer 1/80, sisanya berarti ada
pasien tifoid yang nilai titernya dapat kurang dari 1/80 ataupun bisa juga lebih
besar dari 1/80.
Jika kita tinjau spesifisitasnya hanya
berkisar 8-40-an% (rentangnya terlalu lebar bagi laboratorium), artinya dari
70-90% yang terdeteksi tes widal 1/80 sebenarnya hanya 8-40-an% yang
benar-benar tifoid, sedangkan sisanya menunjukan bahwa titer 1/80 bukanlah
ditentukan karena keberadaan salmonella sp saja, ada faktor lain.
Perbedaan reagen yang digunakan bisa saja menimbulkan kondisi pasien pada hari
yang bersamaan periksa di laboratorium A hasilnya titer < 1/80 negatif
sedangkan di laboratorium B hasilnya justru positif > 1/80. Kalau
dibaca kurang paham bisa bermasalah jadinya.
Jika kita menurunkan nilai cut off
< 1/80 maka sensitivitas meningkat, tetapi konsekuensinya menurunkan
spesifisitas lebih kecil lagi. Sebaliknya jika cut off dinaikan >
1/80, spesifisitas naik tetapi sensitivitasnya menurun. Dari sini memang
terlihat cut off 1/80 memang lebih baik dibanding nilai titer lainnya
meskipun dengan banyak catatan, sehingga nilai titer < 1/80 tidak boleh
diabaikan. Kesulitan ini menjadikan widal perlahan dianggap useless.
Kesulitan penentuan cut
off ini ditengarai juga variasi setiap reagen widal yang memakai
strain-strain salmonella sp. yang asalnya bervariasi,
sebagaimana diketahui reaksi pembentukan aglutinasi sangat terpengaruh kekuatan
interaksi antigen dan antibodi. Penulis berhipotesis juga jika dilakukan dengan
Salmonella sp. strain Indonesia kemungkinan hasilnya juga beragam
(Perlu telaah lebih dalam tentang strain Salmonella sp. Indonesia
dan eksperimen penelitian untuk pembuktian)
Nilai cut off 1/80 harus
dipahami secara proporsional dan utuh, karena kalau tidak ini akan memelihara
konsepsi keliru di laboratorium. Kekeliruan memahami dan ketidak tahuan akan
dasar-dasar penentuan cut off berdasarkan beberapa catatan
menimbulkan banyak masalah.
Berdasarkan data-data empiris pasien
tifoid sebagian besar memang memiliki titer lebih dari atau sama dengan 1/80.
Data empiris ini melahirkan pandangan umum klinisi termasuk TLM bahwa titer
widal 1/80 adalah yang terendah. Konsep kemudian menjalar ke ranah praktek
pemeriksaan tes yang berlainan, diperkeruh dengan kompetensi verifikasi metode
yang masih rendah dan masih kuatnya tradisi lisan dibanding tradisi baca di
generasi TLM Indonesia. Lanjut di poin 3.
Berbeda Kebiasaan Orang Laboratorium Beda pula Pengerjaan
Tes widal memiliki banyak ragam
pengerjaan. Diduga raga pengerjaan ini bemula dari kebiasaan yang diturunkan
dari lisan satu generasi TLM ke generasi TLM berikutnya. Pola pengerjaan yang
berkembang dari kebiasaan dapat dijadikan prosedur standar jika pengerjaan
tersebut diverifikasi melalui serangkaian uji diagnostik, dengan syarat jika
hasilnya terkonfirmasi baik makan harus dibakukan menjadi sebuah dokumen
instruksi kerja, namun jika hasil verifikasi tidak baik mak cara tersebut harus
ditinggalkan.
Namun sayangnya tidak semua
laboratorium dan TLM memiliki kompetensi uji verifikasi ini, sehingga
dilapangan banyak sekali ditemui ragam prosedur widal. Berdasarkan catatan saya
cara tes widal yang paling umum dikerjakan di laboratorium ialah metode slide
dengan mencampurkan 20 µL serum dengan 1 tetes reagen ( ± 50 µL) kemudian
dihomogenkan dengan bantuan rotator atau bahkan ada yang hanya
digoyang-goyangkan saja slidenya selama 1-2 menit. Hasil positif jika terbentuk
aglutinasi. Kebayakan TLM menentukan titer widal dengan cara “mengira-ngira”
berdasarkan pengalaman, besar aglutinasi yang teramati kemudian ditafsirkan
sebagai besar titer. Titer terendah dari pengerjaan ini adalah 1/80 dan
rata-rata hasilnya selalu dilaporkan antara 1/80 s.d 1/320, jarang sekali yang
melaporkan lebih dari 1/640 ke atas. Sampai dengan tulisan ini diposting,
penulis belum menemukan satu pun verifikasi ragam pengerjaan widal yang publish
atau dibakukan menjadi instruksi kerja di satu instansi. Penulis baru mendengar
sebatas lisan ke lisan, namun catatannya verifikasi yang dilakukan itu masih
belum memenuhi kaidah verifikasi yang terstandar.
Dalam tulisan ini penulis sebutkan
beberapa ragam umum, diantaranya memulai pemeriksaan widal dengan mereaksikan
20 uL serum dengan 1 tetes reagen, atau 50 uL reagen. Ada juga cara mencampur
yang lain yaitu dengan perbandingan 1:1, 1 tetes reagen + 1 tetes serum.
Takaran tetes walaupun diperkirakan +/- 50 uL namun itu untuk tetes air murni,
sedangkan untuk larutan lainnya belum pernah ada konfirmasi volume 1 tetesan
itu berapa banyak.
Namun coba kita cek ke insert kit
reagen widal atau instruksi kerja yang berlaku di masing-masing laboratorium,
apakah benar pengerjaanya seperti itu?
Prosedur kerja di atas merupakan ¼
bagian dari prosedur yang seharusnya!
Setiap tes-tes aglutinasi selalu
terdiri dari tahap kualitatif dan semi-kuantitatif (pengenceran untuk penentuan
titer).
Prosedur kualitatif Widal sebenarnya
dimulai dengan mencampurkan 80 µL serum dan masing-masing antigen sebanyak 1
tetes (± 50 µL), diinkubasi dihomogenisasi dengan rotator selama 1-2 menit.
Jika terbentuk aglutinasi maka hasil uji widal tes kualitatif positif. Titer
awal di mulai dari 1/20 dan harus dilanjutkan ke prosedur semi-kuantitatif
untuk menentukan titer widal. Sedangkan jika tidak terbentuk aglutinasi maka
hasil dinyatakan negatif sehingga tidak perlu dilanjutkan. Penentuan titer pun
bukan dengan cara ditebak berdasarkan besarnya aglutinasi. Tidak selalu besar
aglutinasi menunjukan semakin besar titer .
Meringkas cara kerja ini didasari
konsepsi umum yang dipaparkan pada point 2. Kebanyakan orang yang
benar-benar sakit tifoid memiliki titer di atas 1/80. Maka dari situ untuk
mengefisienkan pengerjaan yang panjang pengerjaan langsung diringkas ke step
ke-3 (lihat tabel pengerjaan). Namun disayangkan prosedur ini belum
terverifikasi dan dikarenakan diturunkan melalui tradisi lisan maka generasi ke
generasi TLM banyak yang tidak mengetahui latar belakang ini, bahkan ada yang
tidak tahu prosedur widal yang seharusnya.
Walapun nilai titer widal 1/20 memiliki
nilai spesifisitas rendah, namun tetap harus dikerjakan. Tujuan tes
presumtif atau skrining adalah menjaring sebesar-besarnya kemungkinan orang
sakit. Maka titer terkecillah yang harus jadi permulaan pengerjaan. Pada
sebagian besar populasi, menunjukan 81,55% populasi sering menunjukan hasil
positif yang sebenarnya bukan indikasi tifoid namun dapat berupa sisa titer
infeksi yang telah lampau, ataupun yang tinggal di daerah endemis tifoid
kecenderungan membentuk anti-H dan anti-O Salmonella sp. Nah yang
sisa 15-an% berarti kemungkinan positif tifoid kan. Nilai 15% artinya 1-2 orang
per-10 orang tifoid memiliki titer widal rendah (1/20 < 1/180). Titer ini
dapat muncul seperti pada bayi, anak-anak, atau orang tua. Berhubungan dengan
respon imun yang masih lemah pada bayi dan anak, pada orang tua karena
perlemahan respon humoral imunitas. Ataupun pada kondisi imunotoleran pada
orang-orang yang tinggal di daerah endemis tifoid dan sering sakit tifoid, ada
sebuah anomali dimana pada kasu imunotoleran ini paparan antigen yang berulang
malah tidak membangkitkan respon pembentukan antibodi, sehingga titer antibodinya
cenderung turun atau bahkan tidak terdeteksi sama sekali. Maka lakukan sesuai
prosedur bakunya supaya leluasa mendeteksi rentang titer yang lebih luas, dan
ingat juga reaksi antigen-antibodi tidak boleh asal nyampur pada sembarang
volume karena dia mengikuti hukum kesetimbangan kimia (reaksiantigen-antibodi)
Berikut Langkah tes widah yang lengkap
tersaji pada tabel di bawah ini. Coba cek insert kit reagen widal, langkanya
pasti di mulai dari step-1 seperti tabel ini.
Tabel Pengerjaan
Step
|
Sampel
|
Reagen
|
Titer Jika Positif
|
1
|
80 µL
|
1 tetes
|
1/20
|
Dilanjutkan ke step-2 jika hasil
step-1 ada aglutinasi. Jika hasil step-1 tidak terbentuk aglutinasi, hasil
dilaporkan Negatif.
|
|||
2
|
40 µL
|
1 tetes
|
1/40
|
Jika step-2 positif aglutinasi
dilanjutkan, jika negatif maka dilaporkan positif titer 1/20. dan seterusnya.
|
|||
3
|
20 µL
|
1 tetes
|
1/80
|
4
|
10 µL
|
1 tetes
|
1/160
|
5
|
5 µL
|
1 tetes
|
1/320
|
Jika s.d setp-5 masih terbentuk
aglutinasi, maka harus dilanjutkan dengan pengenceran tabung.
|
|||
Siapkan 3 tabung kemudian isi
masing-masing 100 µL NaCl 0,85%, kemudian ke dalam tabung-1 masukan 5 µL
serum homogenkan (P1). Ambil 100 µL P1 masukan ke dalam tabung-2, homogenkan
(P3). Ambil 100 µL P2 masukan ke dalam tabung-3, homogenkan. Hasil
pengenceran ini diperiksa kembali dengan cara seperti berikut :
|
|||
6
|
5 µL dari tabung-1
|
1 tetes
|
1/640
|
7
|
5 µL dari tabung-2
|
1 tetes
|
1/1280
|
8
|
5 µL dari tabung-2
|
1 tetes
|
> 1/2560
|
note
: cek kit insert reagen
Kenapa sih harus dari 1/20 ? Balik lagi
kenapa anda melakukan dari 1/80?. Prosedur ini sudah melewati banyak verifikasi
dan secara tinjauan reaksi kesetimbangan antigen-antibodi baik dalam mendeteksi
keberadaan antibodi pada tes widal, Tidak diperkenankan juga merubah volume
tanpa verifikasi.
Jika banyak laboratorium menggunakan
cara yang tidak terstandar dikhawatirkan banyak kesalahan hasil (false
negative) padahal ingat lagi tujuan tes presumtif itu menjaring
sebesar-sebesarnya suspecter. Jadi mohon di masing-masing dijadikan
bahan evaluasi untuk peningkatan mutu pemeriksaan, dan disampaikan baik-baik.
Jangan sampai menimbulkan “perdebatan” tak berujung apalagi berantem.
Sekarang dari segi pembacaan hasil.
Kalau kita mengikuti prosedur yang seharusnya maka tidak diperkenankan
melakukan cara-cara menebak titer berdasarkan ukuran aglutinasi.
Tidak selalu ukuran aglutinasi yang
besar menunjukan kuantitas reaksi antigen-antibodi. Perlu dipahami reaksi
antigen-antibodi fase II yang melibatkan interaksi intra-molekuler membentuk
visualisasi aglutinasi yang besar. Penulis yakin kalau yang rutin mengerjakan
tes widal sesuai step-stepnya akan “ngeuh” dengan apa yang dikemukakan ini,
Tidak selalu kalau titer makin besar maka aglutinasinya makin besar, kadang
seragam, bervariasi. Jadi tidak baik mengira-ngira titer apalagi tidak
terverifikasi. Kalau belajar secara "katanya"saja tanpa menelaah,
kalau ada apa-apa saling salah-salahan lah nanti. So, tentukan titer
berdasarkan step-stepnya, mari sajikan informasi hasil pemeriksaan berkualitas
baik.
Dibalik teknik meringkas cara kerja
yang terus diturunkan memang didasari upaya mempercepat pengerjaan agar hasil
cepat keluar dan hemat reagen sehingga biaya efisiensi jika dibandingkan dengan
prosedur yang seharusnya. Namun tetap perlu dilakukan dengan cara-caranya yang
lebih terukur dan jika hendak menurunkan “keahlian” harus memberi tahu aslinya
seperti apa, dasarnya apa, dan lakukan verifikasi sesuai pedoman uji
diagnostik.
Tiga poin tentang tes widal ini (masih
banyak) setidaknya memang harus dikaji ulang. Sebagai tes presumtif tifoid
memang banyak yang menggangpnya “useless” tetapi sebagai tes skrining di
daerah endemis masih berguna mengingat kemudahan pengerjaan dan harganya yang
murah.
Kepada para TLM kembalilah
membiasakan bekerja sesuai dengan prosedur acuan, sehingga akan
memudahkan proses trace back dalam interpretasi hasil.
Sebagai penutup penulis kutipkan ayat
Al-Quran
"Sempurnakanlah takaran, dan jangan kamu merugikan orang lain. Dan timbanglah dengan timbangan yang benar" QS. Asy Syu’araa 27 : 182-183
Per-laboratoriuman dasarnya adalah
kimia analitik, hakikatnya ia adalah proses takar-menakar. Timbangan TLM adalah
reaksi fotometer, reaksi serologi, reaksi imunologi, reaksi biokimia, reaksi di
alat-alat otomatik, dsb maka tentukan hasil laboratorium yang presisi dan
akurat dengan terus upgrade pengetahuan dan prakteknya.
Semoga bermanfaat
Muhammad Reza Jaelani
Referensi
Asima
Banu, Mir Mohammed Noorul Hassan, Mridu Anand, Sathyabheemarao Srinivasa. 2013.
Baseline antibody titres against Salmonella typhi in apparently asymptomatic
HIV positive individuals in a tertiary care hospital. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3737764/
Bharat
Mani Pokhrel, Rajendra Karmacharya. 2008. Distribution of antibody titer
against Salmonella enterica among healthy individuals in Nepal. https://www.semanticscholar.org/paper/Distribution-of-antibody-titer-against-Salmonella-Pokhrel-Karmacharya/4f422013b29e054dbffda1f2a5dbcb8cd810537c
Keddy,
KH., et al. 2013. Sensitivity and specificity of typhoid fever rapid
antibody tests for laboratory diagnosis at two sub-Saharan African sites. http://www.who.int/bulletin/volumes/89/9/11-087627/en/
Olopoenia,
A. King. 2000. Widal agglutination test − 100 years later: still plagued by
controversy. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1741491/
Patil
AM, Kulkarni ML, Kulkarni AM. 2007. Baseline Widal titres in healthy children. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18174641
Wafaa
MK Bakr, Laila A El Attar, Medhat S Ashour, Ayman M El Toukhy. 2011. The
dilemma of widal test - which brand to use? a study of four different widal
brands: a cross sectional comparative study. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3050682/
1/40 itu artinya 1 tetes sampel 40 kali titer?
BalasHapus