Cari Blog Ini
Rasulullah saw bersabda "Ikatlah Ilmu dengan Tulisan"_____ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا، وَرِزْقًا طَيِّبًا، وَعَمَلًا مُتَقَبَّلًا Ya Allah … aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rizki yang thayyib, dan amal yang diterima"
Unggulan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Label
Diposting oleh
Muh. Reza Jaelani Science Communicator
HISMOPALSMOSIS
Histoplasmosis merupakan jenis mikosis
profunda yaitu jenis infeksi jamur yang menyerang organ-organ bagian dalam.
Histoplasmosis juga dikenal sebagai Darling’s
Diseas. Penyebab histoplasmosis adalah jamur Histoplasma capsulatum, jamur ini merupakan jamur dimorfik yang
secara alami terdapat di tanah sebagai jamur saprofit. Histoplasma capsulatum banyak ditemukan di kotoran-kotoran hewan
seperti kotoran ungas, kelelawar, dan burung. Histoplasma capsulatum, banyak ditemukan di seluruh dunia seperti
di Amerika, Eropa, Australia, termasuk Indonesia. Di Indonesia sendiri kejadian
histoplasmosis umumnya ditemukana pada orang-orang yang mengalami kondisi
imunosupresi seperti pada penderita HIV-AIDS dan menjadi penyebab mikosis letal
pada kebanyakan penderitanya.
Jalan Infeksi Histoplasma capsulatum
Histoplasmosis merupakan jenis infeksi
oportunistik. Histoplasmosis didapat ketika terjadi inhalasi spora berupa
mikrokonidia. Walaupun seseorang menghirup mikrokonidia belum tentu mikrokonidia tersebut berkembang
lebih lanjut menjadi histoplasmosis. Hal tersebut berkaitan dengan respon
imunitas masing – masing orang. Ketika terjadi inhalasi mikrokonidia maka pada
awal terdeteksi oleh tubuh maka terjadi respon imun non spesifik, gejala paling
ringan dari respon imun ini dapat berupa batuk, demam bahkan muntah-muntah.
Respon imun yang baik dapat merecovery hal tersebut walaupun tanpa pengobatan.
Mikrokonidia tumbuh menginfeksi menjadia histoplasmosis jika respon imun
mengalami supresi atau kegagalan dalam melawan parasit.
Mikrokonidia akan difagositosis oleh
sel-sel fagosit seperti neutrophil dan monosit. Walaupun mikrokonidia mengalami
fagositosis, namun mikrokonidia tidak akan hancur akan tetapi menjadi
berkembang menjadi bentuk yeast. Hal ini berkaitan dengan sekesi protein yang
menginhibisi kerja protease lisosom pada sel fagosit. Perubahan bentuk miselia
menjadi yeast diperantarai dengan adanya ion besi yang mengaktivasi gen
diferensiasi dan kondisi suhu fisiologis yang memungkinkan enzim pemicu
diferensiasi menjadi aktif. Proses tersebut dapat terjadi dalam waktu 15 – 18
jam pasca fagositosis.
Untuk
merespon imunitas dari host akibat berkembangnya inang, pertumbuhan yeast
akan terhenti dalam waktu 1 - 2 minggu setelah terpapar. Setelah itu dengan
adanya sitokin secara sistematik mengaktifkan kegiatan fungistatic makrofag
terhadap yeast intraseluler. Kerusakan pada sel-sel makrofag memicu
hipersensitivitas tipe IV yang diperantarai sel untuk histoplasma antigen yang terjadi
(3 - 6 minggu setelah terpapar). Sekitar 85 - 90% dari individu yang
imunokompeten menghasilkan respon positif terhadap tes antigen kulit untuk
spesies histoplasma. Selama minggu ke bulan, respon inflamasi menghasilkan
granuloma fibrinous kalsifikasi dengan daerah nekrosis.
Respon imun dimulai ketika terjadi
pengenalan antigen oleh sel-sel B dan T. antigen pada Histoplasma capsulatum dapat dikelompokan sebagai berikut :
Mikosis
|
Uji
|
Antigen
|
Sensivitas dan
Nilai
|
Keterangan
|
|
Diagnosis
|
Prognosis
|
||||
Histoplasmosis
|
CF
|
H
|
≤ 84% kasus
positif (titer ≥ 1 ; 8)
|
Perubahan titer
empat kali lipat
|
Reaksi silang pada pasien blastomikosis, kriptokokosis,
asperigilosis, titer dapat disokong uji kulit dengan histoplasmin
|
CF
|
Y
|
≤ 94% kasus
positif (titer ≥ 1 ; 8)
|
Perubahan titer
empat kali lipat
|
Rekativitas silang kurang daripada dengan histoplasmin
|
|
ID
|
H
|
≥ 85% kasus
positif, yaitu pita m atau m dan h
|
Hilangnya antigen H
|
Uji kulit dengan histoplasmin dapat meningkatkan jumlah pita m;
lebih spesifik daripada uji CF
|
Orang dengan respon imunitas yang baik
umumnya tidak akan mengindap histoplasmosis, namun jika terjadi imunosupresi
resiko kejadi histoplasmosis menjadi lebih besar. Resiko mengidap
histoplasmosis meningkat pada orang-orang perokok, traveler yang melakukan perjalanan ke daerah endemis atau
mengunjungi gua, dan orang yang kontak dengan kotoran ungas atau burung. Resiko
juga meningkat pada orang yang mendapatkan transplantasi organ, dan orang yang
mendapat pengobatan obat steroid atau TNF inhibition seperti pada kondisi rheumatoid.
Organ target utama dari histoplasmosis
merupakan paru paru, selain itu juga dapat menginfeksi usus besar, ileum (usus
bagian bawah), peritonium, esofagus, dan saluran gastrointestinal. Kebanyakan infeksi
bersifat asimtomatis, apabila ada gejala dapat sangat bermacam-macam gejalanya,
tergantung kepada bentuk dari penyakitnya. Infeksi paru-paru dapat menjadi short-term (acute) dan relatif ringan,
atau dapat juga menjadi long-term
(kronis) dan serius. Gejala-gejala infeksi paru-paru akut adalah kelelahan,
demam, dingin, sakit di dada, dan batuk kering. Infeksi paru-paru kronis dapat
seperti tuberculosis dan terjadi di sebagian besar orang yang telah sakit
paru-paru. Hal ini dapat berkembang berbulan-bulan atau bertahun-tahun dan
melukai paru-paru. Gejala yang ditimbulkan tidak khas dan menyerupai gejala
penyakit paru lain seperti demam, batuk, sesak napas, dan lain-lain. Penyakit
yang menahun mirip dengan gejala tuberkulosis shingga sulit dibedakan dari
penyakit tersebut. Di alat dalam lain, gejala yang ditimbulkan juga tidak khas
dan menyerupai penyakit pada alat tersebut sehingga seringkali penyakit ini
tidak dapat dikenal secara dini.
Manifestasi klinis dari histoplasmosis
muncul dengan paparan lanjutan yang meluas. Infeksi paru awal mungkin
menyebarkan secara sistemik, dengan penyebaran hematogen, dan menghasilkan
manifestasi paru. penyebaran hematogen ke kelenjar getah bening regional dapat
terjadi melalui limfatik atau hati dan limpa. Progresif disebarluaskan
histoplasmosis jarang di host dewasa yang immunocompetent. Sistemik spread
biasanya terjadi pada pasien dengan imunitas seluler terganggu dan biasanya
melibatkan sistem CNS, hati, limpa, dan rematologi, okular, dan hematologi.
Dari paru, jamur dapat menyebar secara
hematogen ke alat lain, terutama sistem retikulo-endotel, sehingga menimbulkan
pembengkakan hati, limpa, dan kelenjar getah bening. Walaupun demikian, pada histoplasmosis
diseminata, penderita tidak selalu menunjukkan gejala paru ataupun sangat
minimal, seperti juga yang terjadi pada pasien ini. Suatu bentuk infeksi yang
akut dan fatal serta cepat dijumpai pada anak-anak dan penderita imunosupresi,
termasuk penderita AIDS. Demam, anemia, leukopenia, berat badan menurun, sering
dijumpai pada penyebaran histoplasmosis diseminata. Jika tidak terdiagnosa,
dapat menimbulkan kematian. Fungemia sering dijumpai dan kadang organisme
intraselular ini dapat terlihat bersirkulasi pada pemeriksaan sediaan apus
darah tepi biasa di dalam monosit
Infeksi histoplasmosis secara klinis dikenal
dalam beberapa bentuk diantaranya :
1.
Histoplasmosis Asimtomatik
Histoplasmosis
asimptomatik biasanya terjadi di
daerah endemis. Sebanyak 50 – 85% orang
yang tinggal di daerah endemis pernah terinfeksi jamur tersebut.
2.
Histoplasmosis Primer
Jenis
infeksi ini terjadi pada fase akut pasca spora terinhalasi ke dalam paru-paru.
Jika respon imun lemah, dapat menimbulkan peradangan yang bersifat lokal
seperti limfadenopati. Bentuk lain dapat berupa penyakit pernafasan ringan
dengan kondisi malaise, demam, menggigil, sakit kepala, myalgia (nyeri otot) ,
nyeri dada, dan batuk. Pemeriksaan radiologis menunjukkan infiltrat kecil-kecil
tersebar di paru dan pembesaran kelenjar pada hilus. Kelainan ini bersifat
ringan dan sembuh sendiri.
Pada
anak-anak berlangsung tidak lebih dari tiga minggu. Bentuk sekunder, gejalanya
serupa dengan yang primer, pada pemeriksaan radiologis tampak nodul-nodul
milier tersebar di paru menyerupai tuberkulosis miliaris. Dalam beberapa bulan
kelainan ini dapat menghilang sendiri dengan atau tanpa perkapuran. Uji tuberkulin
negatif sedangkan uji kulit histoplasmin positif
3.
Histoplasmosis Diseminata
Jenis
ini merupakan suatu infeksi yang terjadi pada bayi, anak kecil dan penderita
imunospresi. Morbiditas dan mortalitas tinggi. Bentuk yang fatal ini jarang
terjadi. Kelainan dimulai dengan infeksi paru akut, demam, batuk, sesak napas
dan cepat menjadi progesif serta menyerang banyak organ. Penderita tampak sakit
berat, mual, muntah, sakit perut dan diare. Ditemukan rhonkhi (suara berat
dalam pernafasan), limfadenopati, hepatosplenomegali, anemia, leukopenia dan
trombositopenia. Jika tidak mendapatkan pengobatan, kelainan akan memburuk dan
dapat terjadi kegagalan pernapasan, perdarahan gastro-intestinal yang tidak
dapat dikontrol, koagulasi intravaskuler diseminata (DIC) dan/atau sepsis,
akhimya dapat menimbulkan kematian. Gambaran radiologis paru terlihat
infiltrate interstitial difus atau bentuk retikulonodular yang dengan cepat
menjadi acute respiratory distress
syndrome.
Kelainan
ini dapat dijumpai pula pada penderita leukemia atau keganasan sistem limfatik
dan hemopoetik lainnya, path pemberian kemoterapi, obat imunosupresif atau
steroid, serta pada penderita AIDS yang menunjukkan gejala demam yang tidak
dapat diterangkan sebabnya disertai hepatosplenomegali dan pansitopeniat.
Kelainan yang bersifat subakut atau kronis dapat di tern ukan pada penderita
dewasa, biasanya dengan gejala ulserasi pada mulut, faring, laring dan saluran
pencernaan, insufisiensiadrenal, endokarditis, osteomielitis, arthritis dan
meningitis.
4.
Histoplasmosis Kronis
Dijumpai
pada orang dewasa, perokok dan mempunyai riwayat penyakit obstruksi paru
kronis. Gejalanya demam, batuk kronik dengan produksi sputum, malaise, lelah,
berat badan turun, nyeri dada dan hemoptisis. Pada pemeriksaan radiologis paru
terlihat kavitasi pada lobus atas dan fibrosis yang progresif pada bagian bawah
paru. Histoplasmosis kronis dapat berkembang menjadi Histoplasmosis diseminata.
Diagnosis dapat ditegakan dengan
menemukan Histoplasma capsulatum pada
bahan pemeriksaan. Dapat dilakukan berupa pembiakan pada media, direct
mikroskopis histopatologi, maupun uji imunoserologi. Selain itu dapat dibantu
dengan pemeriksaan CT Scan atau Rontgen Thoraks PA.
Bahan pemeriksaan yang dapat digunakan
antara lain sputum, urine, aspirat pleura, sumsum tulang dan sel darah buffy
coat. Preparat darah, preparat sumsum tulang, dan specimen biopsy. Bahan
pemeriksaan berupa sputum dan aspirat pleura ataupun darah dapat digunakan
untuk bahan kultur, cara kultur memiliki sensitivitas anatar 50 – 70% pada
pasien kronis dan lebih tinggi pada penderita diseminata, namun memiliki nilai
diagnostik yang rendah pada penderita histoplasmosis akut. Kultur dilakukan
pada media SDA, dan bermakna klinis jika ditemukan koloni Histoplasma capsulatum yang pada suhu 37oC membentuk
koloni yeast, sedangkan pada suhu kamar membentuk koloni filament.
Histoplasma
Capsulatum dengan Pewarnaan Gomoris
Pada pemeriksaan histopatologi hasil
biopsy jaringan akan didapatkan reaksi jaringan mirip dengan tuberkolosis dan
didapatkan perkijuan. Dengan pewarnaaan HE jamur sulit untuk ditemui, untuk
melihat lebih jelas dapat digunakan pewarnaan PAS, Gridley atau Gomoris’s Methenemine Silver Stain, dengan
pewarnaan ini jamur akan nampak sebagai blastospora.
Untuk pemeriksaan imunoserologi dapat
digunakan cara imunodifusi dengan histoplasmin dan reaksi ikatan imunokomplemen
untuk mendeteksi antibodi terhadap histoplasma. Tes reaksi imunokomplemen digunakan untuk
mendeteksi antibodi terhadap histoplasma, nilai diagnostik pada fase akut hanya
berkisar 5 – 15% pasca 3 minggu infeksi, nilai diagnostik akan bermakna 60 -75%
jika disertai gejala klinis pada pasien dan pengulana pemeriksaan 6 minggu
kemudian dan jika respon imun baik maka akan terjadi perbaikan pada pasien,
namun jika terjadi kenaikan titer antibodi maka dapat diduga terjadi
peningkatan histoplasmosis kea rah kronis ataupun diseminata. Diantara
prevalensi positif pada tes ini 70 -90 % penderita mengarah pada histoplasmosis
kronis. Namun cara ini memiliki kelemahan karena dapat terjadi cross reaction jika terdapat infeksi Blastomyces dermatitidis dan Coccidioides immitis.
Cara lainnya adalah pemeriksaan
imunodifusi atau dikenal dengan imunopresipitasi. Cara ini digunakan untuk
mendeteksi anti-M dan anti H. Anti-M terdeteksi pada 50 – 80% penderita, anti-H
hanya terdeteksi pada 10 – 20% penderita dan akan menghilang 6 bulan jika
infeksi tidak berlanjut. Anti H lebih menunjukan infeksi aktif histoplasmosis.
Pada pasien yang mengalami
imunocompromise dapat dilakukan juga deteksi antigen pada bahan pemeriksaan
serum dan urin. Metode pemeriksaan dapat berupa RIA dan baru-baru ini telah
direalese produk dengan metode EIA untuk mendeteksi titer antigen histoplasma.
Sebagai komplementer dalam diagnosis
dapat disertakan pemeriksaan hematologi lengkap, ALP, dan LDH. Hasil
pemeriksaan hematologi menunjukan kondisi pansitopenia yang disertasi
trombositosis. Terjadi peningkatan ALP pada penderita histoplasmosis kronis dan
diseminata, sedangkan pemeriksaan LDH ditujukan pada pasien pengidap AIDS yang
mengalami histoplasmosis diseminata.
Pengobatan pada penderita
histoplasmosis dibedakan antara pengobatan pada penderita imunokompeten non AIDS
dan pengobatan pada penderita AIDS. Pada kelompok non AIDS pengobatan juga
dibedakan antara histoplasmosis diseminata yang mengancam nyawa dan bentuk yang
lebih ringan. Pada bentuk diseminata yang mengancam nyawa pengobatan dimulai
dengan pemberian amfotersin B secara intravena dengan dosis 0,7 – 1 mg/hari
tiap hari selama 1 – 2 minggu. Dosis total diberikan sebanyak 2500 mg untuk
orang dewasa. Untuk anak-anak disesuaikan dengan umur dan berat badan. Kemudian
diteruskan dengan itrakonazol 200 – 400 mg/hari sampai paling sedikit 6 bulan.
Pada bentuk yang lebih ringan dapat diberikan itrakonazol 200 – 400 mg selama
paling sedikit 6 bulan. Pada histoplasmosis paru kronik diperlukan pengobatan
selama lebih dari satu tahun untuk mencegah relaps.
Pada penderita AIDS dengan
histoplasmosis ringan sampai sedang dapat diberikan itrakonazol 200 mg tiga
kali/hari untuk tiga hari pertama dilanjutkan denga 2 x 200 mg selama 12
minggu. Prinsip pengobatan histoplasmosis diseminata adalah pemberian terapi
induksi untuk mendapatkan perbaikan klinis diikuti terapi supresif untuk
mencegah relaps. Terapi induksi menggunakan amfoterisin B 0,5 – 1 mg/kgBB/hari
selama 3 hari – 2 minggu tergantung respons penderita. Kemudian diikuti terapi
supresif dengan itrakonazol 400 mg/hari selama kurang lebih 3 bulan.
Sulit untuk mencegah pajanan terhadap
jamur yang menyebabkan histoplasmosis, terutama di daerah di mana penyakit
tersebar luas. Beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk menghindari
terjadinya Histoplasmosis antara lain :
1. Hindari tempat yang berkembangnya
jamur, terutama daerah yang dipenuhi dari ekskresi burung dan kelelawar.
2.
Mengeluarkan atau membersihkan koloni
kelelawar atau kandang burung dari gedung ataupun perumahan.
3. Melakukan desinfeksi pada daerah yang
mengalami kontaminasi menggunakan formaldhehid.
4.
Meminimalisir terbangnya debu yang
kemungkinan terkontaminasi dengan spora jamur dengan cara menyemprotkan dengan
air daerah yang berpotensi sebagai sumber penularan penyakit, seperti kandang
ayam sebelum dibersihkan dilakukan penyemprotan dengan air untuk menghindari
terbangnya debu yang mengandung spora jamur.
5. Saat bekerja di tempat yang beresiko
sebagai tempat penyebaran penyakit, pekrja hendaknya menggunakan pakaian khusus
dan menggunakan masker wajah yang berfungsi untuk menyaring debu yang masuk
saat bernafas, sebaiknya gunakan masker dengan diameter kurang lebih 1
milimicron.
6. Untuk para perokok baiknya mengurangi
secar bertahap interval merokok untuk menurunkan resiko nekrosis yang
mengundang histoplasmosis.
7. Untuk penderita HIV-AIDS disarankan
untuk selalu mengonsumsi obat ARV agar mengurangi resiko infeksi oportunis
histoplasmosis.
Muh. Reza
Jaelani
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Label:
Immunologi
Mikosis
Respon imunitas
QA, MLS, Biomedic I Key Expertise : QMS, QC, Statistical Analysis, Immunology
Komentar
Posting Komentar