Langsung ke konten utama

Unggulan

BEBERAPA CATATAN UNTUK TES WIDAL

MIKOSIS SISTEMIK : HISTOPLASMOSIS DESIMINATA


Histoplasmosis merupakan jenis mikosis profunda yaitu jenis infeksi jamur yang menyerang organ-organ bagian dalam. Histoplasmosis juga dikenal sebagai Darling’s Diseas. Penyebab histoplasmosis adalah jamur Histoplasma capsulatum, jamur ini merupakan jamur dimorfik yang secara alami terdapat di tanah sebagai jamur saprofit.
Spektrum histoplasmosis berkisar dari asimtomatik atau ringan, yang dapat sembuh sendiri pada individu imunokompeten sampai infeksi diseminata yang parah pada individu imunokompromais. Pada infeksi primer akut, 90% pasien tidak menunjukkan gejala (asimtomatik) atau hanya terlokalisasi di paru dan umumnya  tidak terdeteksi. Jika spora terhirup dalam jumlah banyak dapat terjadi influenza-like syndrome berupa demam, fatique, batuk-batuk, sakit kepala, dan nyeri sendi. Histoplasmosis diseminata akut dapat menunjukkan gejala klinis berupa demam, penurunan berat badan, lemas badan, sesak nafas, kadang disertai pembesaran kelenjar getah bening dan penyebaran ke organ-organ lain.1,2,4 Lesi kulit hanya ditemukan pada 5-25% kasus,3 umumnya tidak spesifik, dapat berupa papul, nodus kecil, plak, lesi mirip moluskum, kemudian dapat berkembang menjadi ulkus dangkal.
Kondisi infeksi jenis diseminata merupakan tahapan infeksi yang mencapai tahap sitemik. Dimana infeksi jamur telah menyebar ke berbagai organ penderita histoplasmosis diseminata merupakan suatu infeksi yang terjadi sering terjadi pada bayi, anak kecil, namun lebih umum pada penderita imunospresi, dan imunokompromais. Morbiditas dan mortalitas tinggi pada penderita jenis ini. Bentuk yang fatal ini jarang terjadi. Kelainan dimulai dengan infeksi paru akut, demam, batuk, sesak napas dan cepat menjadi progesif serta menyerang banyak organ. Penderita tampak sakit berat, mual, muntah, sakit perut dan diare. Ditemukan rhonkhi (suara berat dalam pernafasan), limfadenopati, hepatosplenomegali, anemia, leukopenia dan trombositopenia. Jika tidak mendapatkan pengobatan, kelainan akan memburuk dan dapat terjadi kegagalan pernapasan, perdarahan gastro-intestinal yang tidak dapat dikontrol, koagulasi intravaskuler diseminata (DIC) dan/atau sepsis, akhimya dapat menimbulkan kematian. Gambaran radiologis paru terlihat infiltrate interstitial difus atau bentuk retikulonodular yang dengan cepat menjadi acute respiratory distress syndrome.
Histoplasma capsulatum dapat berkembang menjadi infeksi sistemik dikarenakan kemampuan dari jamur untuk bersmbunyi dari sel-sel imun. Histoplasma capsulatum yang mengalami fagositosi oleh makrofag memiliki kemampuan untuk menginaktivasi kerja enzim protease yang dihasilkan lisosom makrofag, sehingga histoplasma akan berkembang menjadi sel yeast dengan bantuan ko faktor berupa ion besi yang mengaktivasi gen morfogenesis jamur sehingga menjadi bersifat lebih virulen dari stadium hifa. Perkembangan infeksi ditunjang dengan kondisi imunokompromais.
Kondisi imunokompromais merupakan gangguan fungsi imunitas selular dan humoral yang sebenarnya dan dapat berlangsung cukup lama, adalah sebagai akibat pengobatan dengan imunosupresan atau pun akibat proses penyakit tertentu. Beberapa kondisi yang dapat menimbulkan keadaan immunocompromasi antara lain ialah :

1.    Neutropenia
Neutropenia didefinisikan apabila jumlah neutrofil absolut <500 sel/uL untuk pasien dengan tumor atau <1000 sel/ul untuk pasien leukemia. Apabila jumlah neutrofil menurun secara bermakna dan masa neutropenia cukup lama, maka risiko terjadinya infeksi oleh bakteri, jamur, virus atau mikroorganisme oportunistik akan meningkat secara nyata. Khusus pasien yang sebelumnya telah mendapat kemoterapi atau radioterapi akan lebih peka terhadap infeksi. Kondisi neutropenia ini mendukung percepatan infeksi jamur-jamur pathogen oportunis diantaranya adalah Histoplasma capsulatum. Jamur  secara progresif masuk kebagian paru dan menginvasi bagian tersebut.

2.    Kerusakan pada imunitas selular dan humoral
Iradiasi, pengunaan sitostatik dan kortikosteroid adalah penyebab gangguan dan perubahan pada sistem imunitas selular. Sedangkan sistem imunitas humoral yang dalam keadaan normal akan bereaksi dengan melakukan opsonisasi mengalami gangguan apabila organ pembentuknya mengalami kerusakan (misalnya splenektomi). Kondisi kerusakan pada sistem humoral dan seluler akan mempercepat invasi infeksi jamur yang mengakibatkan penyebaran secara progresif dari jamur Histoplasma capsulatum. Penurunan kemampuan pembentukan antibodi dan opsonisasi pada gilirannya akan menghambat eliminasi pathogen dari dalam sitem tubuh, hambatan ini memicu perkemabangan Histoplasma capsulatum secara progresif.

3.    Perubahan pada Sawar Fsik
Gangguan pada sawar fisik seperti kulit, saluran cerna, saluran kemih, mukosa saluran napas selama kemoterapi atau pun tindakan invasif akan merupakan tempat masuknya mikroorganisme ke dalam tubuh. Hal lain yang dapat merusak sawar pelindung ialah kateter intravena atau kateter saluran kemih, alat intubasi, tempat bekas suntikan, aspirasi sumsum-tulang, ektravasasi atau operasi.

4.    Status nutrisi/gizi
Gizi yang baik penting untuk mempertahankan sistem imunitas selular, karena telah diketahui bahwa gizi buruk menyebabkan penurunan fungsi limfosit dan fagositosis seperti halnya kesembuhan sawar kulit dan mukosa. Orang yang mengalami malnutrisi akan lebih rentang terkena infeksi jamur Histoplasmosis hal ini berkaitan dengan produksi energi yang menurun serta pembentukan respon imun yang melemah akibat hambatan dalam pembentukan ATP yang menjadi sumber energi dalam metabolisme termasuk reaksi imunologi dalam tubuh.

5.    Obstruksi
Obstruksi pada saluran napas akan meningkatkan risiko infeksi oleh bakteri anaerob juga infeksi jamur, demikian pula obstruksi pada saluran kemih akan meningkatkan risiko infeksi oleh tertentu. Oleh karena itu keadaan ini harus mendapat perhatian khusus pada pasien dengan neutropenia atau imunokompromais. Infeksi jamur seperti Histoplasmosis merukan contoh infeksi jamur yang paling mudah diidap oleh pendrita imunokompromais. Obstruksi seperti pada saluran nafas akan mendukung perkembangan jamur menjadi stadium infektif berupa yeast, dimana akan terjadi tempat perkumpulan sel darah yang rusakdan menjadi sumber nutrisi bagi patogen di lokasi tersebut.
6.    Disfungsi susunan saraf pusat
Gangguan susunan saraf pusat yang disebabkan tumor primer otak atau pun oleh metastasis mengakibatkan gangguan pada mekanisme protektif. Misalnya, hilangnya refleks muntah, dapat menyebabkan pneumonia aspirasi atau gangguan miksi dapat menyebabkan timbulnya infeksi saluran kemih. Disfungsi susuna saraf dalam sistem reflex yang merespon adanya zat asing yang masuk, umumnya terjadi pada balita yang sistem releksnya belum sepenuhnya bekerja. Dalam kondisi ini memungkinkan terjadinya kondisi histoplasmosis gastrointestinal yang langka pada sejumlah penderitanya, akibat kehilangan refleks muntah atau kehilangan kendali dalam pendarahan gastroinstestinal.

Kelompok pasien risiko tinggi terdapat selain pada penderita imunokompromais adalah pada pasien  kanker dan yang sedang kemoterapi secara langsung dapat merusak sistem imun dan meningkatkan kejadian infeksi. Pasien pada unit perawatan intensif; pada umumnya pasien di unit ini berisiko tinggi karena pemakaian antibiotic spektrum luas dan karena kerusakan pada kulit atau selaput lendir akibat tindakan anastomosis, trauma, gizi buruk, hipotensi, pengobatan dengan steroid, dan penggunaan alat invasive pada organ dalam. Di unit transplantasi sumsum-tulang atau organ; pada saat berlangsungnya transplantasi dan selama pemulihan, pasien akan mengalami keadaan imunokompromais yang cukup berat dan lama.
Pasien HIV dan AIDS; keadaan defisiensi imun pada AIDS menyebabkan sekitar 90% pasiennya setidaknya sekali mengalami infeksi jamur selama perjalanan penyakitnya yang berkisar dari ringan (pada mukosa) sampai berat. Umumnya 10 - 20%  berakhir fatal yang umumnya disebabkan candidiasis dan histoplasmosis.
Golongan yang beresiko lain-lainnya adalah para  penyalahgunaan obat terlarang khususnya melalui suntikan dan dengan cara yang tidak steril meningkatkan risiko terjadinya infeksi HIV dan jamur.
Diagnosis histoplasmosis ditegakkan berdasarkan temuan intracellular yeast-like cells berukuran kecil pada dahak, darah tepi, sumsum tulang, dan spesimen biopsy gambaran histologi dan pemeriksaan histokimia periodic acid schiff dan grocott methenamic silver. Untuk identifikasi organisme penyebab sebaiknya dilakukan biakan. Pemeriksaan penunjang lain berupa tes serologi, tes deteksi antigen, polymerase chain reaction (PCR) Pemeriksaan lain seperti pemeriksaan rapid detection dari antigen polisakarida pada darah dan urin dan penggunaan teknik hibridisasi insitu dari biopsi kulit, dan foto toraks.
Diagnosis infeksi jamur, khususnya pada pasien imunokompromais merupakan hal yang sulit bagi para klinisi. Diagnosis laboratorium infeksi jamur pada pasien immunokompromais melalui satu atau lebih pendekatan seperti pemeriksaan mikroskopik seksama terhadap sekret saluran nafas, isolasi organisme, deteksi antibodi atau antigen jamur, dan  pembuktian invasi jamur secara histopatologi.
Pada umumnya pencegahan infeksi jamur cukup sulit. Usaha yang penting ialah menghindari faktor predisposisi untuk infeksi. Kebersihan lingkungan yang baik diperlukan untuk menghindari infeksi. Perhatian khusus perlu diberikan untuk
prosedur invasif, pada keadaan neutropenia.
Pada sebuah contoh kasus diagnosis Histoplasmosis diseminata dapat ditegakan sebagai berikut :




Pemeriksaan histopatologi dari jaringan biopsy puncture kulit menunjukkan lesi granulomatous nonnecrotizing inflammation dengan banyak organisme bentuk bulat oval, berdinding tebal sebagian tipis, terletak di dalam dan di luar sel histiosit, dengan sitoplasma jernih (Gambar 3). Kemudian untuk menegakkan diagnosis lebih spesifik dilakukan pemeriksaan histokimia berupa pulasan periodic acid schiff dan grocott methenamic silver, dengan hasil positif sesuai untuk gambaran Histoplasma capsulatum. Tampak gambaran granulomatous nonnecrotizing inflammation dengan banyak organisme bentuk bulat oval, berdinding tebal sebagian tipis, terletak di dalam dan di luar sel histiosit berwarna basofilik.
Pemeriksaan penunjang hapusan lidah dengan pewarnaan gram mendapatkan spora dan budding cell serta pseudohifa. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan anemia (hemoglobin 9.5 gr/dL), eritrosit berkurang menjadi 3.57jt/mm3, hematokrit 28.1% (menurun), trombositopenia (142 x 103/ mm3), SGOT 124 U/L, SGPT 46 U/L, protein total 5 g/dL, albumin 2.1 gr/dL,
Na 124 mmol/L, Cl 96.8 mmol/L, CD4: 8 sel/μL,
Biakan darah pada suhu kamar 25-28oC secara makroskopis menunjukkan koloni warna putih, seperti kapas dengan latar belakang coklat pucat, tumbuh lambat dalam 7 hari. Secara mikroskopis tampak hifa panjang, mikrokonidia berbentuk oval di pinggir hifa, dan makrokonidia besar berbentuk tuberculate. Pada suhu 37oC ditemukan koloni yeast warna putih-coklat muda secara makroskopis, dan
sel spora berbentuk bulat/oval dengan dinding tebal secara mikroskopis. pemeriksaan lainnya dalam batas normal. Pemeriksaan untuk malaria menunjukkan hasil negatif.  Pemeriksaan sputum 3x dengan pewarnaan Ziehl Nielsen untuk basil tahan asam memberikan hasil negatif.
Pada biakan didapatkan jamur dimorfik yang pada suhu kamar tumbuh koloni berwarna putih seperti kapas, dan secara mikroskopis didapatkan dua tipe spora. Tipe pertama berupa makrokonidia berukuran 8 - 15μm, bulat, bentuk tuberculate merupakan ciri khasnya, dan tipe kedua berupa mikrokonidia yang infeksius,
berbentuk oval, berukuran lebih kecil (2-4 μm). Biakan darah pasien ini pada suhu kamar 25-28oC menunjukkan koloni warna putih, seperti kapas dengan latar belakang coklat pucat secara makroskopis dan tumbuh lambat dalam 7 hari. Secara mikroskopis terlihat hifa panjang, mikrokonidia berbentuk oval di pinggir hifa, dan makrokonidia besar berbentuk tuberculate. Pada suhu 37oC ditemukan koloni yeast warna putih-coklat muda selain makroskopis, dan sel spora berbentuk bulat/oval dengan dinding tebal secara mikroskopis. Hasil biakan sesuai dengan histoplasmosis.
Keinginan kuat untuk membuat suatu regimen profilaksis untuk menurunkan angka kematian akibat infeksi jamur pada pasien dengan neutropenia, khususnya pada transplantasi sumsum-tulang, telah timbul dan mendapat kesepakatan. Hasil yang cukup baik untuk profilaksis aspergilosis dicapai dengan pemberian amphotericin B (aerosol, intravena, liposomal) dan itraconazole oral.
Selain itu obat anti-jamur dapat diberikan secara empiris, khusus untuk pasien dengan neutropenia dan mengalami demam yang berkepanjangan walaupun telah
diberi antibiotik berspektrum luas. Pada pasien seperti ini biasanya sulit untuk diketahui apakah mereka juga menderita infeksi oleh jamur. Dasar penggunaan antijamur secara empiris ialah diagnosis antemortem untuk penyakit jamur yang menyebar, sulit ditegakkan pada pasien imunokompromais, menunda pengobatan
anti-jamur, berarti memberi kesempatan untuk penyebaran penyakit, sehingga apabila pengobatan segera diberikan dapat mengurangi kejadian infeksi jamur pada pasien imunokompromais,  untuk mengidentifikasi pasien yang mempunyai risiko tinggi terhadap jamur invasif. Pasien dengan neutropenia yang mengalami
demam menetap walaupun telah mendapat antibiotic selama 4-7 hari, cenderung menderita infeksi oleh jamur.
Pengobatan anti-jamur secara empiris diharapkan dapat memberikan dua keuntungan yaitu menekan tumbuh lampau jamur yang timbul bersama dengan penggunaan antibiotik berspektrum luas dan pengobatan dini infeksi jamur yang subklinis dan terlokalisir.

Komentar