Cari Blog Ini
Rasulullah saw bersabda "Ikatlah Ilmu dengan Tulisan"_____ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا، وَرِزْقًا طَيِّبًا، وَعَمَلًا مُتَقَبَّلًا Ya Allah … aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rizki yang thayyib, dan amal yang diterima"
Unggulan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Label
Diposting oleh
Muh. Reza Jaelani Science Communicator
ANTIGEN
Imunologi
merupaka disiplin ilmu yang memperlajari reaksi sistem imunitas terhadap
konfigurasi yang dianggap asing. Konfigurasi asing tersebut dinamakan antigen.
Konsep imunologi klasik beranggapan bahwa antigen yang dianggap asing
menyebakan sistem imunitas tubuh teraktivasi membentuk antibodi. Akan tetapi
dengan sejumlah perkembangn yang didukung pengetahuan molekuler dan
teknik-teknik baru, maka definisi ini direvisi bahwa antigen adalah suatu
substansi yang bereaksi dengan antibodi. Hal ini disebabkan tidak semua antigen
menyebakan reaksi pembentukan antibodi seperti antigen golongan darah AB0 tidak
menyebabkan sesorang yang memiliki antigen A pada sel eritrositnya menjadikan
dia membentuk anti-A. Pada antigen yang asing (antigenik) hanya beberapa bagian
yang bersifat imunogen (menimbulkan respon pembentukan antibodi) yang disebut
bagian epitop yang antigenik.
Hubungan derajat antigenitas (keasingan) suatu
substansi erat kaitannya dengan filogenetik (hubungan kekerabatan). Semakin
jauh jarak filogeniknya maka semakin antigenik substansi tersebut. Seperti pada
reaksi transplantasi, semakin dekat kekerabatannya kemungkinan reaksi penolakan
akan semakin kecil, atau pada reaksi transfusi darah, golongan darah yang
kompatible (cocok golongannya) kecil kemungkinan menimbulkan reaksi penolakanan
secara spontan, beberbeda jika golongan darah yang ditansfusikan tidak
kompatibel maka terjadi reaksi penolakan spontan yang ditandai dengan
aglutinasi.
Berdasarkan
hubungan jarak flogenetik ini antigen dapat dikelompokan menjadi 3 yaitu:
Autoantigen : Antigen yang berasal dari bagian
tubuh sendiri, yang dalam keadaan normal tidak akan dianggap sebagai komponen
asing (self-antigen). Dalam kondisi normal self-antigen pada sel-sel abnormal akan dikenali agar sel tersebut
dihancurkan, namun jika self-antigen
dikenali dalam kondisi patologis sebagai konfiguasi asing maka konsekuensinya
terjadi reaksi autominun, hal ini dapat diakibatkan karena sistem imun
mengalami abnormalitas atau self-antigen
mengalami perubahan struktur seperti ditempeli molekul asing. Contoh antigen
permukaan sel eritrosit dan trombosit yang berasal dari dalam tubuh sendiri.
Alloantigen : Antigen yang berasal dari bagian
tubuh dalam satu spesies. Contoh HLA, antigen permukaan eritrosit, dan trombosit
dari orang lain. Jika antigen bersifat kompatibel (seperti pada reaksi
transfuse darah) alloantigen ini tidak menimbulkan reaksi imunitas spontan,
namun jika paparan terus terjadi kemungkinan akan terjadi reaksi penolakan yang
ditandai dengan aktivitas imun selular (sel fagosit) dan humoral (antibodi).
Heteroantigen : Antigen yang berasal dari spesies yang
berlainan, antigen ini jika bersifat antigenik dan imunogen maka akan memicu
reaksi imun secara spontan. Contoh bagian-bagian tubuh bakteri, parasit, virus,
jamur, allergen dsb.
Berdasarkan
asalnya antigen dapat dikelompokan menjadi 2 jenis yaitu: antigen endogen dan
antigen eksogen. Antigen endogen
adalah semua antigen yang berasal dari diri sendiri seperti antigen golongan
darah, HLA, antigen permukaan pada sejumlah sel, asesoris sel-sel abnormal,
ataupun komponen virus yang dirakit dalam sitosol. Sedangkan antigen eksogen adalah antigen yang
berasal dari luar tubuh seperti bagian-bagian sel bakteri, parasit, allergen
yang berasal dari bahan makanan atau minuman, dsb.
Pada umumnya antigen merupakan molekul
protein namun ada juga yang berasal dari komponen lain ataupun berupa struktur
campuran. Tabel berikut menyajikan derajat imunogentas. Derajat imunogentias
merupakan gambaran kemudahan suatu substansi menimbulkan reaksi imun yang
disertai pembentukan antibodi. Reaksi imun sampai dengan tahap pemebntukan
antibodi terjadi secara bertahap, dimulai ketika antigen dikenali oleh sistem
imun seluler bawaan (sel fagosit profesional: sel APC) yang kemudian
menghasilkan sejumlah sitokin dan mempresentasikan antigen ke sel limfosit T helper naïve yang dilanjutkan dengan aktivasi sel B untuk
berdiferensiasi menajdi sel plasma untuk membentuk antibodi dan sel memori.
Struktut Antigen
|
Imunogenitas
|
Contoh
|
Protein
|
+++
|
Pilin,
Flagelin, HbsAg
|
Karbohidrat
|
++
|
CEA,
golongan darah AB0, LPS, Glukan, Mannan
|
Lemak
|
+/-
|
Lipotheic
acid
|
Asam
Nukleat
|
+/-
|
dsDNA,
ssRNA, dsRNA, CpG
|
Tanda (+) menyatakan derajat imunogenitas. Pada
umunya semua struktut protein bersifat imunogen, kemudian pada derajat yang
lebih rendah ada golongan karbohidrat, lemak dan asam nukleat secara fisiologis
normal tidak bersifat imunogen kecuai jika pada kondisi abnormal seperti pada
kondisi LE (Lupus Erithomatosus)
terbentuk anti ds-DNA. Umunya asam nukleat berasal dari komponen virus seperti
ssRNA, dsRNA dsb. Asam nukleat ini hanya bersifat antigenik (hanya dikenali
sebagai konfigurasi asing) tidak bersifat imunogen (tidak merangsang
pembentukan antibodi). Selain dari faktor struktur, beberapa faktor diketahui
juga diketahui mempengaruhi derajat imunogentias sebuah substansi, diantaranya
:
Faktor Keasingan
Semakin jauh jarak
filogeniknya maka suatu substansi semakin bersifat imunogen.
Faktor Ukuran Molekul
Faktor ini
menjadi penting, jika semua ukuran bersifat imunogen maka setiap yang kita
konsumsi bersifat imunogen. Namun hal itu tidak terjadi, sistem imun pada
umumnya menganggap molekul dengan ukuran berat molekul < 10.000 Da bersifat
imunogen lemah, semakin kecil kecil ukurannya semakin bersifat tidak imunogen.
Itu sebabnya monosakarida seperti glukosa, fruktosa tidak imunogen, begitupun
asam amino. Namun ada juga beberapa molekul kecil yang bersifat imunogen jika
melekat pada molekul lain seperti berberapa golongan obat tertentu, molekul
berstruktur aromatis seperti benzene dan turunannya. Sistem imun pada umunya
mengenali antigen yang imunogen dengan berat molekul > 100KDa seperti
kebanyakan struktur protein.
Faktor Kompleksitas
Semakin rumit
bentuk struktur molekul, maka semakin imunogen antigen tersebut. Hal ini
menjelaskan mengapa protein memiliki derajat imunogentitas tertinggi karena
protein tersusun atas struktur primer, sekunder, tersier, dan kuarterner.
Semakin beragam jenis asam amino yang menyusunnya semakin imunogen juga, dan
pada bagian-bagian yang mengandung asam amino aromatis menunjukan derajat
imunogentias yang lebih tinggi jika dibandingkan struktut asam amino non
aromatis.
Faktor Genetik
Sistem imun
sangat terkait dengan control berbagai macam gen. Sebuah percobaan dilakukan
terhadap 2 galur marmot yang keduanya diberi perlakukan polilisin. Walapupun
satu spesies teranyata hanya salah satu galur saja yang menimbulkan respon
imun. Hal ini setelah ditelusuri ternyata ada kaitannya dengan gen, salah satu
galur yang tidak memberikan respon imunitas terhadap polilisin ternyata tidak memiliki
gen yang meregulasi reaksi imunitas terhadap polilisin. Pada tingkat spesies
yang berbedapun di jumpai hal serupa. Polisakarida murni merupakan imonogen
terhadap manusia dan kelinci namun tidak imunogen pada marmut. Hali ini juga
berkaitan dengan polimorfisme gen HLA. HLA (Human
Leucocyte Antigen) merupakan rangkaian antigen yang diekspresikan pada
permukaan sel leukosit, HLA yang berperan dalam penyajian antigen adalah MHC I
dan MHC II. Gen-gen HLA terletak pada kromosom 6 pada posisi 6p21.1 s.d 6p21.3
yang terdiri dari 40-60 gen, gen-gen ini memiliki banyak bentuk alternatif
(banyak alel) yang menyebabkan banyaknya polimorfisme dan bersifat diwariskan.
Pada tingkat respon imun bawaan terdapat polimorfisme TLR (Toll like reseptor) yang berperan mengenali PAMS (Patogen Association Molecular Patters)
contoh polimorfimse pada TLR9 dan TLR2 menyebabkan perbedaan respon pada respon
imun bawaan.
Faktor Jalur Pemaparan
Respon imun
sangat tergantung dengan jalur suatu substansi itu masuk ke dalam tubuh. Hali
ini dapat diilustrasikan ketika vaksinasi dilakukan secara intravena ternyata
tidak menimbulkan respon imun, namun ketika dilakukan secara subkutan atau
intramuscular ternyata menimbulkan respon imun. Hal ini berkaitan dengan
keberadaan barrier mukosa pada permukaan tubuh yang dilengkapi dengan sel-sel
penjaga. Sebagaimana diketahui bahwa respon imun diawali dengan tahap
pengenalan konfigurasi asing oleh sel-sel imunokompeten (sel APC) seperti
makrofag, dendritic, sel kuffer, sel langerhans, dan sejumlah fagosit lainnya.
Tanpa melalui tahap briging innate to adaptive
immunity melalui presentasi antigen ini, antigen eksogen tidak akan
bersifat imunogen (menimbulkan reaksi pembentukan). Jalur-jalur potensial hanya
terdapat pada jalur superfisial kulit, subkutan, intramuskular,
intraperitonial, atau jalur-jalur barrier mukosa lainnya seperti pada vaksinasi
polio melalui saluran gastroinstestinal (pencernaan) yang memiliki sistem GALT
(Gastroinstestinal Association Lympoid Tissue). Hal ini dapat dipahami karena dalam
keadaan normal infeksi tidak di mulai dari rute sikluasai darah, melainkan
bertahap melewati barrier-barrier tubuh, sedangkan pada tahap sirkulasi darah
respon biasnaya sudah berupa reaksi antigen-antibodi, yang disertai reaksi
komplemen yang bertujuan mengeliminasi sebanyak-banyaknya patogen.
Faktor Dosis
Dalam dosis
yang rendah pada umunya antigen hanya disingkirkan cukup dengan respon imunitas
bawaan yang hanya melibatkan sel-sel fagosit seperti neutrophil maupun fagosit
profesional (sel APC) dan cukup hanya pada tahap aktivasi makrofag untuk
mengeliminasi keberadaan patogen. Dalam paparan berulang-ulang dengan dosis
sangat rendah justru sistem imun lama kelamaan akan mentolerir keberadaan
antigen tersebut sehingga tidak menimbulkan respon imun lagi keadaan ini
disebut toleransi imunologi. Kondisi toleransi imunologi pun dapat terjadi pada
paparan dosis yang sangat besar yang diberikan secara berulang dalam periode
waktu yang lama. Dalam kondisi normal toleransi imunologi ini berguna untuk
mempertahankan homeostasis pengenalan terhadap self-antigen agar tidak menimbulkan reaksi autoimunitas, dan
menjadi salah satu penjelasan mengapa makanan tidak menimbulkan efek resaksi
imunologi, Karena paparan berulang dalam jumlah besar. Pada kondisi patologis juga
terjadi pada infeksi virus hepatitis B paada saat replikasi virus yang tinggi
menyebabkan tercipta fase imunotoleran terhadap virus.
Pada
antigen-antigen yang sangat imunogenik yang dikenal sebagai superantigen. Superantigen dihasilkan beberapa jenis
virus dan bakteri sebagai seperti toksin Staphylococcus
aureus antigen ini tidak diproses melalui tahapan-tahapan seperti umumnya
(respon imun bawaan yang dilanjutkan respon imun adaptif). Antigen dapat
langsung mengaktivasi sel limfosit T helper
naïve berdiferensiasi menjadi sel Th1 menghasilkan sejumlah besar sitokin
proinflamasi yang menginduksi kerja makrofag. Superantigen sebagian besar
adalah toksin yang dihasilkan patogen sebagai upaya mempertahankan
eksistensinya terhadap serangan sistem imunitas. Karena efeknya yang cepat maka
sistem imun pu meresponnya secara cepat untuk meminimalisir perluasan area
invasi dan kerusakan jaringan.
Referensi
Abbas
AK, Lichman AH, Pillai S. 2016. Celular and Molecular Immnunology. Elsevier
Kresno,
SB. 2010. Imunologi : Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Jakarta: BP FKUI.
Olson
KR, Nardin ED. 2014. Imunologi dan Serologi Klinis Modern untuk Kedokteran dan
Analis Kesehatan (MLT/CLT)
Subowo,
2014. Imunobiologi. Jakarta : CV Sagung Seto
Hongbo
Chen 1, et al.
2016. Polymorphisms of HLA-DM on
Treatment Response to Interferon/Ribavirin in Patients with Chronic Hepatitis C
Virus Type 1 Infection. Available from: https://www.researchgate.net/publication/309329586_Polymorphisms_of_HLA-DM_on_Treatment_Response_to_InterferonRibavirin_in_Patients_with_Chronic_Hepatitis_C_Virus_Type_1_Infection.
Carla
Montesano, et al. 2014. Impact of Human Leukocyte Antigen Polymorphisms in
Human Immunodeficiency Virus Progression in a Paediatric Cohort Infected with a
Mono-phyletic Human Immunodeficiency Virus-1 Strain https://www.omicsonline.org/open-access/impact-human-leukocyte-antigen-polymorphisms-in-human-immunodeficiency-virus-progression-in-a-paediatric-cohort-infected-with-monophyletic-human-immunodeficiency-virus-strai-2155-6113.1000282.php?aid=24397
Schnetzke, U., Spies-Weisshart, B., Yomade, O., Fischer, M.,
Rachow, T., Schrenk, K.G., Glaser, A., Lilienfeld-Toal, M.V., Hochhaus, A.,
& Scholl, S. (2015). Polymorphisms of Toll-like receptors (TLR2 and TLR4)
are associated with the risk of infectious complications in acute myeloid
leukemia. Genes and
Immunity, 16, 83-88. https://www.semanticscholar.org/paper/Polymorphisms-of-Toll-like-receptors-(TLR2-and-are-Schnetzke-Spies-Weisshart/119974d38325b29235d50f70cb6ff22a4df72f96
Mohamadkhani,
Ashraf & Katoonizadeh, Aezam & Poustchi, Hossein. (2015).
Immune-Regulatory Events in the Clearance of HBsAg in Chronic Hepatitis B:
Focuses on HLA-DP. Middle East journal of digestive diseases. 7. 5-13. https://www.researchgate.net/publication/271598613_Immune-Regulatory_Events_in_the_Clearance_of_HBsAg_in_Chronic_Hepatitis_B_Focuses_on_HLA-DP
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Label:
antibodi
antigen
Immunologi
QA, MLS, Biomedic I Key Expertise : QMS, QC, Statistical Analysis, Immunology
Komentar
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusIjin bertanya kenapa Karbohidrat merupakan antigen yang immunogenik???
BalasHapus