Langsung ke konten utama

Unggulan

BEBERAPA CATATAN UNTUK TES WIDAL

ANTIGEN



Imunologi merupaka disiplin ilmu yang memperlajari reaksi sistem imunitas terhadap konfigurasi yang dianggap asing. Konfigurasi asing tersebut dinamakan antigen. Konsep imunologi klasik beranggapan bahwa antigen yang dianggap asing menyebakan sistem imunitas tubuh teraktivasi membentuk antibodi. Akan tetapi dengan sejumlah perkembangn yang didukung pengetahuan molekuler dan teknik-teknik baru, maka definisi ini direvisi bahwa antigen adalah suatu substansi yang bereaksi dengan antibodi. Hal ini disebabkan tidak semua antigen menyebakan reaksi pembentukan antibodi seperti antigen golongan darah AB0 tidak menyebabkan sesorang yang memiliki antigen A pada sel eritrositnya menjadikan dia membentuk anti-A. Pada antigen yang asing (antigenik) hanya beberapa bagian yang bersifat imunogen (menimbulkan respon pembentukan antibodi) yang disebut bagian epitop yang antigenik.

Hubungan derajat antigenitas (keasingan) suatu substansi erat kaitannya dengan filogenetik (hubungan kekerabatan). Semakin jauh jarak filogeniknya maka semakin antigenik substansi tersebut. Seperti pada reaksi transplantasi, semakin dekat kekerabatannya kemungkinan reaksi penolakan akan semakin kecil, atau pada reaksi transfusi darah, golongan darah yang kompatible (cocok golongannya) kecil kemungkinan menimbulkan reaksi penolakanan secara spontan, beberbeda jika golongan darah yang ditansfusikan tidak kompatibel maka terjadi reaksi penolakan spontan yang ditandai dengan aglutinasi.
Berdasarkan hubungan jarak flogenetik ini antigen dapat dikelompokan menjadi 3 yaitu:
Autoantigen            : Antigen yang berasal dari bagian tubuh sendiri, yang dalam keadaan normal tidak akan dianggap sebagai komponen asing (self-antigen). Dalam kondisi normal self-antigen pada sel-sel abnormal akan dikenali agar sel tersebut dihancurkan, namun jika self-antigen dikenali dalam kondisi patologis sebagai konfiguasi asing maka konsekuensinya terjadi reaksi autominun, hal ini dapat diakibatkan karena sistem imun mengalami abnormalitas atau self-antigen mengalami perubahan struktur seperti ditempeli molekul asing. Contoh antigen permukaan sel eritrosit dan trombosit yang berasal dari dalam tubuh sendiri.
Alloantigen              : Antigen yang berasal dari bagian tubuh dalam satu spesies. Contoh HLA, antigen permukaan eritrosit, dan trombosit dari orang lain. Jika antigen bersifat kompatibel (seperti pada reaksi transfuse darah) alloantigen ini tidak menimbulkan reaksi imunitas spontan, namun jika paparan terus terjadi kemungkinan akan terjadi reaksi penolakan yang ditandai dengan aktivitas imun selular (sel fagosit) dan humoral (antibodi).
Heteroantigen        : Antigen yang berasal dari spesies yang berlainan, antigen ini jika bersifat antigenik dan imunogen maka akan memicu reaksi imun secara spontan. Contoh bagian-bagian tubuh bakteri, parasit, virus, jamur, allergen dsb.
Berdasarkan asalnya antigen dapat dikelompokan menjadi 2 jenis yaitu: antigen endogen dan antigen eksogen. Antigen endogen adalah semua antigen yang berasal dari diri sendiri seperti antigen golongan darah, HLA, antigen permukaan pada sejumlah sel, asesoris sel-sel abnormal, ataupun komponen virus yang dirakit dalam sitosol. Sedangkan antigen eksogen adalah antigen yang berasal dari luar tubuh seperti bagian-bagian sel bakteri, parasit, allergen yang berasal dari bahan makanan atau minuman, dsb.
Pada umumnya antigen merupakan molekul protein namun ada juga yang berasal dari komponen lain ataupun berupa struktur campuran. Tabel berikut menyajikan derajat imunogentas. Derajat imunogentias merupakan gambaran kemudahan suatu substansi menimbulkan reaksi imun yang disertai pembentukan antibodi. Reaksi imun sampai dengan tahap pemebntukan antibodi terjadi secara bertahap, dimulai ketika antigen dikenali oleh sistem imun seluler bawaan (sel fagosit profesional: sel APC) yang kemudian menghasilkan sejumlah sitokin dan mempresentasikan antigen ke sel limfosit T helper naïve  yang dilanjutkan dengan aktivasi sel B untuk berdiferensiasi menajdi sel plasma untuk membentuk antibodi dan sel memori.
Struktut Antigen
Imunogenitas
Contoh
Protein
+++
Pilin, Flagelin, HbsAg
Karbohidrat
++
CEA, golongan darah AB0, LPS, Glukan, Mannan
Lemak
+/-
Lipotheic acid
Asam Nukleat
+/-
dsDNA, ssRNA, dsRNA, CpG
Tanda (+) menyatakan derajat imunogenitas. Pada umunya semua struktut protein bersifat imunogen, kemudian pada derajat yang lebih rendah ada golongan karbohidrat, lemak dan asam nukleat secara fisiologis normal tidak bersifat imunogen kecuai jika pada kondisi abnormal seperti pada kondisi LE (Lupus Erithomatosus) terbentuk anti ds-DNA. Umunya asam nukleat berasal dari komponen virus seperti ssRNA, dsRNA dsb. Asam nukleat ini hanya bersifat antigenik (hanya dikenali sebagai konfigurasi asing) tidak bersifat imunogen (tidak merangsang pembentukan antibodi). Selain dari faktor struktur, beberapa faktor diketahui juga diketahui mempengaruhi derajat imunogentias sebuah substansi, diantaranya :
Faktor Keasingan        
Semakin jauh jarak filogeniknya maka suatu substansi semakin bersifat imunogen.

Faktor Ukuran Molekul   
Faktor ini menjadi penting, jika semua ukuran bersifat imunogen maka setiap yang kita konsumsi bersifat imunogen. Namun hal itu tidak terjadi, sistem imun pada umumnya menganggap molekul dengan ukuran berat molekul < 10.000 Da bersifat imunogen lemah, semakin kecil kecil ukurannya semakin bersifat tidak imunogen. Itu sebabnya monosakarida seperti glukosa, fruktosa tidak imunogen, begitupun asam amino. Namun ada juga beberapa molekul kecil yang bersifat imunogen jika melekat pada molekul lain seperti berberapa golongan obat tertentu, molekul berstruktur aromatis seperti benzene dan turunannya. Sistem imun pada umunya mengenali antigen yang imunogen dengan berat molekul > 100KDa seperti kebanyakan struktur protein.


Faktor Kompleksitas  
Semakin rumit bentuk struktur molekul, maka semakin imunogen antigen tersebut. Hal ini menjelaskan mengapa protein memiliki derajat imunogentitas tertinggi karena protein tersusun atas struktur primer, sekunder, tersier, dan kuarterner. Semakin beragam jenis asam amino yang menyusunnya semakin imunogen juga, dan pada bagian-bagian yang mengandung asam amino aromatis menunjukan derajat imunogentias yang lebih tinggi jika dibandingkan struktut asam amino non aromatis.

Faktor Genetik            
Sistem imun sangat terkait dengan control berbagai macam gen. Sebuah percobaan dilakukan terhadap 2 galur marmot yang keduanya diberi perlakukan polilisin. Walapupun satu spesies teranyata hanya salah satu galur saja yang menimbulkan respon imun. Hal ini setelah ditelusuri ternyata ada kaitannya dengan gen, salah satu galur yang tidak memberikan respon imunitas terhadap polilisin ternyata tidak memiliki gen yang meregulasi reaksi imunitas terhadap polilisin. Pada tingkat spesies yang berbedapun di jumpai hal serupa. Polisakarida murni merupakan imonogen terhadap manusia dan kelinci namun tidak imunogen pada marmut. Hali ini juga berkaitan dengan polimorfisme gen HLA. HLA (Human Leucocyte Antigen) merupakan rangkaian antigen yang diekspresikan pada permukaan sel leukosit, HLA yang berperan dalam penyajian antigen adalah MHC I dan MHC II. Gen-gen HLA terletak pada kromosom 6 pada posisi 6p21.1 s.d 6p21.3 yang terdiri dari 40-60 gen, gen-gen ini memiliki banyak bentuk alternatif (banyak alel) yang menyebabkan banyaknya polimorfisme dan bersifat diwariskan. Pada tingkat respon imun bawaan terdapat polimorfisme TLR (Toll like reseptor) yang berperan mengenali PAMS (Patogen Association Molecular Patters) contoh polimorfimse pada TLR9 dan TLR2 menyebabkan perbedaan respon pada respon imun bawaan.

Faktor Jalur Pemaparan  
Respon imun sangat tergantung dengan jalur suatu substansi itu masuk ke dalam tubuh. Hali ini dapat diilustrasikan ketika vaksinasi dilakukan secara intravena ternyata tidak menimbulkan respon imun, namun ketika dilakukan secara subkutan atau intramuscular ternyata menimbulkan respon imun. Hal ini berkaitan dengan keberadaan barrier mukosa pada permukaan tubuh yang dilengkapi dengan sel-sel penjaga. Sebagaimana diketahui bahwa respon imun diawali dengan tahap pengenalan konfigurasi asing oleh sel-sel imunokompeten (sel APC) seperti makrofag, dendritic, sel kuffer, sel langerhans, dan sejumlah fagosit lainnya. Tanpa melalui tahap briging innate to adaptive immunity melalui presentasi antigen ini, antigen eksogen tidak akan bersifat imunogen (menimbulkan reaksi pembentukan). Jalur-jalur potensial hanya terdapat pada jalur superfisial kulit, subkutan, intramuskular, intraperitonial, atau jalur-jalur barrier mukosa lainnya seperti pada vaksinasi polio melalui saluran gastroinstestinal (pencernaan) yang memiliki sistem GALT (Gastroinstestinal Association Lympoid Tissue). Hal ini dapat dipahami karena dalam keadaan normal infeksi tidak di mulai dari rute sikluasai darah, melainkan bertahap melewati barrier-barrier tubuh, sedangkan pada tahap sirkulasi darah respon biasnaya sudah berupa reaksi antigen-antibodi, yang disertai reaksi komplemen yang bertujuan mengeliminasi sebanyak-banyaknya patogen.

Faktor Dosis           
Dalam dosis yang rendah pada umunya antigen hanya disingkirkan cukup dengan respon imunitas bawaan yang hanya melibatkan sel-sel fagosit seperti neutrophil maupun fagosit profesional (sel APC) dan cukup hanya pada tahap aktivasi makrofag untuk mengeliminasi keberadaan patogen. Dalam paparan berulang-ulang dengan dosis sangat rendah justru sistem imun lama kelamaan akan mentolerir keberadaan antigen tersebut sehingga tidak menimbulkan respon imun lagi keadaan ini disebut toleransi imunologi. Kondisi toleransi imunologi pun dapat terjadi pada paparan dosis yang sangat besar yang diberikan secara berulang dalam periode waktu yang lama. Dalam kondisi normal toleransi imunologi ini berguna untuk mempertahankan homeostasis pengenalan terhadap self-antigen agar tidak menimbulkan reaksi autoimunitas, dan menjadi salah satu penjelasan mengapa makanan tidak menimbulkan efek resaksi imunologi, Karena paparan berulang dalam jumlah besar. Pada kondisi patologis juga terjadi pada infeksi virus hepatitis B paada saat replikasi virus yang tinggi menyebabkan tercipta fase imunotoleran terhadap virus.
Pada antigen-antigen yang sangat imunogenik yang dikenal sebagai superantigen. Superantigen dihasilkan beberapa jenis virus dan bakteri sebagai seperti toksin Staphylococcus aureus antigen ini tidak diproses melalui tahapan-tahapan seperti umumnya (respon imun bawaan yang dilanjutkan respon imun adaptif). Antigen dapat langsung mengaktivasi sel limfosit T helper naïve berdiferensiasi menjadi sel Th1 menghasilkan sejumlah besar sitokin proinflamasi yang menginduksi kerja makrofag. Superantigen sebagian besar adalah toksin yang dihasilkan patogen sebagai upaya mempertahankan eksistensinya terhadap serangan sistem imunitas. Karena efeknya yang cepat maka sistem imun pu meresponnya secara cepat untuk meminimalisir perluasan area invasi dan kerusakan jaringan.  

Referensi
Abbas AK, Lichman AH, Pillai S. 2016. Celular and Molecular Immnunology. Elsevier
Kresno, SB. 2010. Imunologi : Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Jakarta: BP FKUI.
Olson KR, Nardin ED. 2014. Imunologi dan Serologi Klinis Modern untuk Kedokteran dan Analis Kesehatan (MLT/CLT)
Subowo, 2014. Imunobiologi. Jakarta : CV Sagung Seto
Hongbo Chen 1, et al. 2016.  Polymorphisms of HLA-DM on Treatment Response to Interferon/Ribavirin in Patients with Chronic Hepatitis C Virus Type 1 Infection. Available from: https://www.researchgate.net/publication/309329586_Polymorphisms_of_HLA-DM_on_Treatment_Response_to_InterferonRibavirin_in_Patients_with_Chronic_Hepatitis_C_Virus_Type_1_Infection.
Carla Montesano, et al. 2014. Impact of Human Leukocyte Antigen Polymorphisms in Human Immunodeficiency Virus Progression in a Paediatric Cohort Infected with a Mono-phyletic Human Immunodeficiency Virus-1 Strain https://www.omicsonline.org/open-access/impact-human-leukocyte-antigen-polymorphisms-in-human-immunodeficiency-virus-progression-in-a-paediatric-cohort-infected-with-monophyletic-human-immunodeficiency-virus-strai-2155-6113.1000282.php?aid=24397
Schnetzke, U., Spies-Weisshart, B., Yomade, O., Fischer, M., Rachow, T., Schrenk, K.G., Glaser, A., Lilienfeld-Toal, M.V., Hochhaus, A., & Scholl, S. (2015). Polymorphisms of Toll-like receptors (TLR2 and TLR4) are associated with the risk of infectious complications in acute myeloid leukemia. Genes and Immunity, 16, 83-88. https://www.semanticscholar.org/paper/Polymorphisms-of-Toll-like-receptors-(TLR2-and-are-Schnetzke-Spies-Weisshart/119974d38325b29235d50f70cb6ff22a4df72f96
Mohamadkhani, Ashraf & Katoonizadeh, Aezam & Poustchi, Hossein. (2015). Immune-Regulatory Events in the Clearance of HBsAg in Chronic Hepatitis B: Focuses on HLA-DP. Middle East journal of digestive diseases. 7. 5-13. https://www.researchgate.net/publication/271598613_Immune-Regulatory_Events_in_the_Clearance_of_HBsAg_in_Chronic_Hepatitis_B_Focuses_on_HLA-DP

Komentar

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Ijin bertanya kenapa Karbohidrat merupakan antigen yang immunogenik???

    BalasHapus

Posting Komentar