Cari Blog Ini
Rasulullah saw bersabda "Ikatlah Ilmu dengan Tulisan"_____ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا، وَرِزْقًا طَيِّبًا، وَعَمَلًا مُتَقَبَّلًا Ya Allah … aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rizki yang thayyib, dan amal yang diterima"
Unggulan
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Diposting oleh
Muh. Reza Jaelani Science Communicator
RESPON IMUNITAS INFEKSI JAMUR
Infeksi jamur dikenal
dengan istilah mikosis. Mikosis dapat digolongkan berdasarkan letak infeksi.
Umumnya jamur menginfeksi daerah kulit (superfisila : bagian dermis kulis, jika
sampai dalam kulit dinamakan subkutan). Pada golongan jamur-jamur uniseluler
yang dimorfik (memiliki stadium hifa dan yeast) dapat menembus sampai bagian
dalam utamanya bagian respiratori (pernapasan) sampai dengan sirkulasi darah.
Jenis infeksi jamur dibagi menjadi 4 yaitu :
- Mikosis superfisial
- Mikosis subkutan dapat terbagi menjadi 2 lagi yaitu
coutanous dan subcoutanous
- Mikosis respiratori
- Candida albicans
(Point 3-4 digolongkan sebagai Mikosis
bagian dalam/ Deep mycosis yang
umumnya ditandai dengan gejala sistemik karena sampai pada sirkulasi darah)
Infeksi jamur
merupakan sebuah infeksi yang lebih sedikit frekuensinya dibandingkan infeksi
bakteri atau virus. Hal ini berkaitan dengan faktor predisposisi infeksi jamur
adalah defisiensi sistem imun sekunder (respon imun humoral spesifik) seperti
pada kebanyakan pengidap AIDS, pada penderita kanker akibat pengobatan yang
bersifat imunosupresan, pada terapi penggunaan obat imunotransplantasi. Pada
golongan yang tidak mengalami gangguan tersebut umumnya infeksi jamur hanya
pada derajat yang ringan yaitu mikosis superfisial dan subkutan, sangat jarang
terjadi deep mycosis.
Berkaitan dengan deep
mycosis hanya jamur-jamur dimorfik yang menyebabkan hal tersebut. Jamur-jamur
ini memiliki kemampuan menginvasi melalui jalur-jalur pernapasan, saluran
percernaan dalam bentuk spora. Spora dapat berkembang menjadi struktur
mikrohifa atau membentuk pseudohifa pada jaringan dan lama kelamaan dapat
menuju ke pembulu darah. Umumnya jika sudah mencapai pembuluh darah dan
terfagositosis stadiumnya dalam bentuk yeast. Berikut beberapa
faktor virulensi jamur :
- Dimorphism :
jamur dengan struktur dimorfik lebih virulen dibandingkan yang hanya berstadium
hifa, karena stadium yeast berkemampuan hidup pada sel-sel fagosit sebagai
patogen intraseluler. Contoh Histoplasma
capsulatum penyebab histoplasmosis.
- Phenotypic Switching
- Cell Wall Structure :
Dinding sel jamur yang tebal dan mengandung kitin memungkinkan jamur lebih
survive dalam menghadapi sistem imun
- Capsule : struktur kapsul
dapat melindungi dari fagositosis
- Complement Binding :
menginaktivasi sistem komplemen sehingga tidak terjadi sitolisis pada jamur
- Adhesins : Struktur hifa
memenungkinkan terjadinya perlekatan pada beragam substrat termasuk jaringan
kolagen, maupun jaringan lainnya.
- Antigen
- Allergens : Berperan
mengaktivasi reaksi hipersensitivitas yang memicu kerusakan jaringan lebih
dalam lagi
- Enzymes : dapat mengurai struktur jaringan ikat
seperti kolagen, terumata pada jamur-jamur superfisial.
- Fungal Metabolite :
Metabolit jamur dapat bersifat toksin yang menyebabkan kerusakan jaringan,
penguraian struktur jaringan ikat seperti kolagen.
- pH and Iron Regulation
- Antioksidants :
membantu menghindari dari aktivitas ROS ssat proses fagositosis
- Intracellular Trafficking
: Jamur yang difagositosis dapat menjadi patogen intraseluler
Berikut beberapa
jenis Mikosis dengan lokasi infeksi serta komponen imun yang berperan dalam
mengenali infeksi pada fase awal (Selected
Patogen Recognition Receptors: PRRs involved in Protective Immunity)
Respon imunitas
terhadap mikosis merupakan kombinasi respon imun terhadap patogen ekstraseluler
dan patogen intraseluler. Belum semua mekanisme dapat dipahami secara jelas.
Namun pada sejumlah studi menunjukan bahwarespon imun seluler merupakan
mediator utama dalam respon terhadap mikrosis.
Komponen seluler yang
paling banyak berperan adalah neutrophil dan makrofag (sel Langerhans pada
kulit, sel dendritik) sebagai respon awal (non spesifik) yang kemudian disertai
dengan respon imun spesifik yang melibatkan sel T CD4 dan sel T CD8. Pada Seri sel
T CD4 sel T helper-1 (Th1) merupakan respon imun yang protektif dengan
mengeluarkan berbagai mediator termasuk merangsang pembentukan antibodi,
dengankan sel T helper II (Th II) menyebabkan reaksi kerusakan jaringan.
Sel T terbagi menjadi
2 sub populasi yaitu sel CD8 (T sitotoksik), dan sel CD4 (T helper). Pada
respon imunitas terhadap jamur CD4 berperan sebagai efektor imunitas adaptif.
CD4 yang tersensitisasi paparan antigen yang dipaparkan sel APC akan mengalami
diferensiasi yang tergantung jenis sel APC dan sitokin yang dihasilkannya.
Terdapat 4 jenis hasil diferensiasi sel T naïve yaitu sel Th1 menghasilkan
IFN-γ, TNF-α, dan GM-CSF yang umumnya berperan sebagai penginduksi makrofag.
Sel Th2 menghasilkan IL-4, IL-5, dan IL-13. Sel Th17 menghasilkan IL-17A,
IL-17F, dan IL-22. Sel T regulator atau supresor sebagai pengendali
(immunomodulator) respon imuitas sehingga respon imun tidak menimbulkan reaksi
yang berlebihan, menstop jika patogen telah dikalahkan.
Respon imunitas terhadap Mikosis
Kulit merupakan
barrier (benteng pertahanan) terdepn sistem imunitas, pada kulit terdapat suatu
sistem imunitas yang dimanakan SALT (Skin Assocoation Lymphoid Tisseu), pada
bagian ini kulit bagian subkutan selain terdiri dari berbagai sel kulit dan
jaringan kita berupa kolagen juga terdapat kelompok sel-sel fagosit yang
dinamakan sel Langerhans dan juga kelompok sel dendritic, pada bagian tertentu
terdapat juga sel CD8 dan CD4, dan makrofag. Sel-sel ini bermigrasi dari
pembuluh darah dan menetap ke dalam jaringan kulit. Perannya menjadi garda
terdepan jka terjadi infeksi.
Pada kelompok
jamur-jamur superfisial mereka menghasilkan sejumlah enzim yang dapat memecah
lapiran jaringan ikat kulit dan hifa dapat menembus masuk ke bagian epidermis
dan mengambil nutrisi dari sel-sel tersebut.
Respon imun yang
berperan dalam hal ini adalah kelompok sel-sel fagosit terutama makrofag, sel
Langerhans yang akan memfagositosis bagian-bagian hifa jamur, dan mengeluarkan
sejumlah mediator berupa sitokin yang mengundang sel-sel fagosit lain.
Kerusakan jaringan berupa pengelupasan bagian-bagian kulit merupakan mekanisme
yang alamiah untuk melokalisir invasi jamur agar tidak meluas ke bagian lain
atau mencapai lapisan kulit yang lebih dalam. Pada umumnya reaksi hanya sampai
tahap seluler jika ada infeksi berulang biasanya menimbulkan gejala
hipersensitivitas tipe IV.
Bagaimana sistem imunitas dapat mengenali patogen?
Semua mikroba
memiliki kesamaan marker yang disebut sebagai PAMS (Pathogen Associated Mollecular Patters). PAMS dapat berupa
sttruktur dinding sel berupa peptidoglikan, LPS, bagian DNA, atau fragmen DNA
dsb (lihat tabel) :
Struktur PAMS akan
dikenali oleh PRR yang terdapat pada sitem imun terutama pada sel-sel
fagosit. PRR pada sel-sel fagosit umumnya
berbentuk TLR (Toll Like Receptor)
yang terdiri dari berbagai kelas :
- TLR1 dan TLR2 :
Mengenali peptidoglikan bakteri gram positif
- TLR3 : Mengenali
dsDNA yang umumnya kelompok virus
- TLR4 : Mengenali LPS dinding bakteri gram negatif dan Lipotecholic Acid dari bakteri gram positif.
- TLR5 : Mengenali
bagian Flagelin
- TLR6 : Mengenali sisa-sisa nekrosis dan Hsp
Contoh Candida albicans akan dikenali bagian
PAMPS-nya yang berupa dinding sel oleh TLR2/TLR6 Dectin-2 maka ketika terjadi
pengenalan ini seketika sel-sel imunokompeten akan teraktivasi aktivitas
fagositosisnya, jalur pembentukan sitokin proinflamasinya, dan sejumlah
sitokinnya seperti IFN dan IL17 untuk mengundang sel fagosit lainnya. Reaksi
inflamasi yang ditandai oleh peningkatan kadar ROS secara intraseluler
merupakan mekanisme penting untuk mengdegradasi patogen, namun pada sebagian
jamur keberadaan antioksidan dapat menghindarkannya dari aktivitas fagositosis
ini. Sel imunokompeten yang utama berperan dalam prosesi ini adalah makrofag,
dentritik, serta sel-sel Langerhasn.
Neutrofil juga dapat
berperan. Namun hanya sel imunokompeten (sel APC) yang dapat melanjutkan
presentasi antigen ke sel limfosit T. Sel limfosit T yang teraktivasi oleh sel
APC yang mempresentasikan antigen maka kan berdiferensiansi menjadi beberapa
subset seperti sel Th1 dan sel Th2.
TH-1 in Action
TH-2 In Action
Sel Th1 yang
dihasilkan dari diferensisasi sel T naïve (belum teraktivasi) akan menghasilkan
IFN-γ (Interferon Gamma) yang akan menginduksi makrofag membunuh patogen.
Selain itu dari deferensiasi dihasilkan sel TFH (T follicular helper Cell) yang membantu menginduksi sel limfosit B
untuk membentuk antibodi terhadap patogen.
Selain itu dihasilkan
juga sel Th2 sel ini akan menghasilkan sejumlah sitokin seperti IL
(interleukin) IL-4 dan IL-13 yang akan mengaktivasi makrofag melakukan
perbaikan jaringan yang rusak. lL-4 dan IL-13 juga berpern dalam merangsang
pembentukan mucus pada saluran pencernaan agar patogen tertahan dan keluar dari
saluran cerna serta merangsang gerakan peristaltik. IL-4 juga berperan dalam
mengaktivasi pembentukan antibodi kelas IgG, serta IgE yang akan melekat pada
sel mastosit (Sel mast). IL-5 terkhusus membantu mengaktivasi eosinophil pada
infeksi golongan helmintes.
Selain itu dihasilkan
juga seri sel Th17. Sel ini dinamakan Th17 karena menghasilkan IL-17 yang
menginduksi pertahanan sel-sel epitel sebagai barrier mukosa agar patogen tidak
masuk.
Mekanisme Respon Imunitas Sel Denritik terhadap Mikrosis
Sel dentritik
merupakan sel fagosit imunokompeten (Sel APC = antigen Presentating Cell =
penyaji antigen). Disebut sebagai dendritic karena memiliki struktur sel
seperti berambut Sel dendritic merupakan turunan dari promonosit yang di sumsum
tulang dikenali dengan marker permukaan berupa CCR2+, Ly6C+, dan CD11b+.
Sel-sel tersebut
kemudian akan bermigrasi ke berbagai jaringan dengan ragam varian seperti sel
dendritic, sel plasmosit dendritic (Nampak seperti sel plasma bersitoplasma
besar, berjumbai). Sedangkan di kulit terspesialisasi menjadi sel Langerhans.
Monosit dapat menjadai sel monosit ketika terjadi infeksi menjadi dendritic inflammatory.
Di paru-paru akan
menetap sebagai sel dendritic dengan marker permukaan CD11b+, Langerin, CD11c+,
dan CD103+. Ada juga sel Plasmatoid dendritic dengan marker permukaan CD11b+,
CD11cdm, B220+, Ly6C+. Kedua sel tersebut berada di sepanjang saluran
pernapasan bekerja layaknya petugas patrol yang akan memfagositosis patogen
yang berhasil menembus barrier mukosa. Pada Alveolar dikenal ada sel Alveolar
Dendritik dengan marker CDc+, CD103+ yang bersifat non autofluorecent jika
diperiksa secara imunohistokimia fluoresensi.
Pada tahap terjadi
infeksi sel-sel tersebut mendapat tambahan bantuan dari sel dendritic
inflammatory dan mo Dendritic (sel mature dari monosit) yang berasal dari
sumsum tulang. Sel-sel ini ketika memfagositosis patogen penyebab mikosis
seperti golongan aspergilus, blastomyces, Cryptococcus, dan histoplasma maka
antigen akan mengalami pemrosesan kemudian dipresentasikan melakui MHCII ke sel
Limfosit T helper naïve yang kemudian menginduksi sel T naïve berdiferensiasi
menjadi sel efektor berupa sel limfosit Th I.
Pada sistem SALT
(Skin Association Lymphoid Tissue) sel dendritic juga berasal dari sumsum
tulang dengan jenis mo dendritic membentuk populasi sel Langerhans dan sel
dendritic sendiri. Sel Langerhans umunya ditemui pada lapisan epidermis,
sedangkan sel dendritic pada lapisan dermis. Sel-sel ini berperan sebagai APC,
jika mereka menemukan patogen yang masuk menembus ke epidermis atau dermis maka
mereka akan memfagositosis kemudian antigennya dipresentasikan ke sel limfosit
T naïve. Sel Langerhans selain mempresentasikan antigen juga akan menghasilkan
IL-1β, IL-6, dan IL-23 yang berperan memodulasi respon imun pada sel limfosit
T, inflamasi, dan terhadap sel B untuk membentuk sIg. Sel Langerhans akan
menginduksi sel limfosit T naïve berdiferensiasi menjadi sel limfosit Th17.
Sedangkan sel dendritic akan menghasilkan IL-12 dan IL-27 yang berperan
meregulasi inflamasi, menginduksi sel T naïve berdiferensiasi menjadi sel Th1
menghasilkan IFN-γ untuk mengaktivasi lebih banyak makrofag.
Pada saluran
pencernaan pada bagian GALT (Gastroinstentinal Association Lympoid Tissue)
terdapat bagian bercak payer yang merupakan tempat kumpulan sle fagosit
termasuk terdapat juga ada sel dendritic. Jika respon imunitas telah cukup maka
sel T regulator atau supresor akan diaktivasi untuk menginhibisi induksi
aktivasi sel T naïve oleh sel APC, menekan aktivitas sel-sel efektor Th1, Th2,
Th17, serta memerintahkan sel B untuk menghentikan produksi antibodi, dan sel
NK distop aktivitasnya.
Gambar di bawah ini
merupakan ringkasan dari semua tahap respon imunitas terhadap jamur
Berbagai jenis
patogendikenali melalui PAMS-PRR kemudian menginduksi sel-sel imunokompeten
menghasilkan sejumlah sitokin, dan memproses antigen agar dipresentasikan.
Aktivitas ini akan menjembatani respon imun non spesifik (respon imun bawaan)
ke respon imun spesifik (respon imun adaptif).
Setiap jenis jamur
dengan beragam PAMS yang dimilikinya menyebabkan penegnanlan yang beragam oleh
ragam PRR naik TLR maupun jenis lainnya. Sehingga jalur-jalur transduksi yang
diinduksi pun berlainan satu sama lain yang akan menyebabkan induksi signal
diferensiasi sel T naïve menjadi berbeda-beda ragam sel Th yang dihasilkannya.
APC cell is bridging innate to adaptive immunity. Interaksi ini menginduksi sel Th naïve berdiferensiasi
menjadi beragam sel Th yang menghasilkan sejumlah sitokin (inteurleukin), yang
dilanjutkan juga induksi pembentukan antibodi oleh sel B.
Candidiasis
Candidiasis merupakan
salah satu mikosis yang paling banyak terjadi. Candida memiliki bentuk dimorfik
yang menjadikan virulensinya cukup tinggi serta pada beberapa lokasi berperan
sebagai mikroflora normal. Jika sistem imunitas dalam kondisi lemah (penderita
HIV/AIDS, pemakaian imunosupresan, atau kondisi defisiensi imun lainnya) maka
candida akan tumbuh cepat dan akan berkolonisasi pada bagian Nampak berupa
struktur putih. Candida membentuk struktur pseudohifa yang menghujam pada
sel-sel epitel akibat lemahnya pertahanan barrier mukosa.
Kolonisasi ini
mengundang sejumlah sel-sel fagosit datang ke daerah infeksi, yang akan
menyebabkan reaksi inflamasi yang ditandai dengan kemerah dan perih.
Struktur pseudohifa
menjadikan candida dapat menembus kebagian dalam mukosa sampai dengan pembuluh
darah, sehingga pada infeksi lanjut candida dapat ditemukan dalam sirkulasi
darah. Jika demikian maka sel-sel efektor sekunder akan lebih aktif terinduksi
melawan infeksi ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas AK, Lichtman AH, Pillai S. 2016.
Basic Immunology Function and Disorder of Immune System 5th Edition.
Elsevier
Kresno
SB. 2010. Imunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium Edisi Kelima. Jakarta
: BP-FKUI
Subowo.
2014. Imunobiologi Edisi 3. Bandung : Sagung Seto
Komentar
Posting Komentar