Langsung ke konten utama

Unggulan

BEBERAPA CATATAN UNTUK TES WIDAL

RESPON IMUNITAS INFEKSI JAMUR





Infeksi jamur dikenal dengan istilah mikosis. Mikosis dapat digolongkan berdasarkan letak infeksi. Umumnya jamur menginfeksi daerah kulit (superfisila : bagian dermis kulis, jika sampai dalam kulit dinamakan subkutan). Pada golongan jamur-jamur uniseluler yang dimorfik (memiliki stadium hifa dan yeast) dapat menembus sampai bagian dalam utamanya bagian respiratori (pernapasan) sampai dengan sirkulasi darah. 
Jenis infeksi jamur dibagi menjadi 4 yaitu :
  1.  Mikosis superfisial
  2. Mikosis subkutan dapat terbagi menjadi 2 lagi yaitu coutanous dan subcoutanous
  3. Mikosis respiratori
  4. Candida albicans 
(Point 3-4 digolongkan sebagai Mikosis bagian dalam/ Deep mycosis yang umumnya ditandai dengan gejala sistemik karena sampai pada sirkulasi darah)
Infeksi jamur merupakan sebuah infeksi yang lebih sedikit frekuensinya dibandingkan infeksi bakteri atau virus. Hal ini berkaitan dengan faktor predisposisi infeksi jamur adalah defisiensi sistem imun sekunder (respon imun humoral spesifik) seperti pada kebanyakan pengidap AIDS, pada penderita kanker akibat pengobatan yang bersifat imunosupresan, pada terapi penggunaan obat imunotransplantasi. Pada golongan yang tidak mengalami gangguan tersebut umumnya infeksi jamur hanya pada derajat yang ringan yaitu mikosis superfisial dan subkutan, sangat jarang terjadi deep mycosis.
Berkaitan dengan deep mycosis hanya jamur-jamur dimorfik yang menyebabkan hal tersebut. Jamur-jamur ini memiliki kemampuan menginvasi melalui jalur-jalur pernapasan, saluran percernaan dalam bentuk spora. Spora dapat berkembang menjadi struktur mikrohifa atau membentuk pseudohifa pada jaringan dan lama kelamaan dapat menuju ke pembulu darah. Umumnya jika sudah mencapai pembuluh darah dan terfagositosis stadiumnya dalam bentuk yeast. Berikut beberapa faktor virulensi jamur :
  • Dimorphism : jamur dengan struktur dimorfik lebih virulen dibandingkan yang hanya berstadium hifa, karena stadium yeast berkemampuan hidup pada sel-sel fagosit sebagai patogen intraseluler. Contoh Histoplasma capsulatum penyebab histoplasmosis.
  • Phenotypic Switching
  • Cell Wall Structure : Dinding sel jamur yang tebal dan mengandung kitin memungkinkan jamur lebih survive dalam menghadapi sistem imun
  • Capsule : struktur kapsul dapat melindungi dari fagositosis
  • Complement Binding : menginaktivasi sistem komplemen sehingga tidak terjadi sitolisis pada jamur
  • Adhesins : Struktur hifa memenungkinkan terjadinya perlekatan pada beragam substrat termasuk jaringan kolagen, maupun jaringan lainnya.
  • Antigen
  • Allergens : Berperan mengaktivasi reaksi hipersensitivitas yang memicu kerusakan jaringan lebih dalam lagi
  • Enzymes  : dapat mengurai struktur jaringan ikat seperti kolagen, terumata pada jamur-jamur superfisial.
  • Fungal Metabolite : Metabolit jamur dapat bersifat toksin yang menyebabkan kerusakan jaringan, penguraian struktur jaringan ikat seperti kolagen.
  • pH and Iron Regulation 
  • Antioksidants : membantu menghindari dari aktivitas ROS ssat proses fagositosis
  • Intracellular Trafficking : Jamur yang difagositosis dapat menjadi patogen intraseluler

Berikut beberapa jenis Mikosis dengan lokasi infeksi serta komponen imun yang berperan dalam mengenali infeksi pada fase awal (Selected Patogen Recognition Receptors: PRRs involved in Protective Immunity)

Respon imunitas terhadap mikosis merupakan kombinasi respon imun terhadap patogen ekstraseluler dan patogen intraseluler. Belum semua mekanisme dapat dipahami secara jelas. Namun pada sejumlah studi menunjukan bahwarespon imun seluler merupakan mediator utama dalam respon terhadap mikrosis.
Komponen seluler yang paling banyak berperan adalah neutrophil dan makrofag (sel Langerhans pada kulit, sel dendritik) sebagai respon awal (non spesifik) yang kemudian disertai dengan respon imun spesifik yang melibatkan sel T CD4 dan sel T CD8. Pada Seri sel T CD4 sel T helper-1 (Th1) merupakan respon imun yang protektif dengan mengeluarkan berbagai mediator termasuk merangsang pembentukan antibodi, dengankan sel T helper II (Th II) menyebabkan reaksi kerusakan jaringan.

Sel T terbagi menjadi 2 sub populasi yaitu sel CD8 (T sitotoksik), dan sel CD4 (T helper). Pada respon imunitas terhadap jamur CD4 berperan sebagai efektor imunitas adaptif. CD4 yang tersensitisasi paparan antigen yang dipaparkan sel APC akan mengalami diferensiasi yang tergantung jenis sel APC dan sitokin yang dihasilkannya. Terdapat 4 jenis hasil diferensiasi sel T naïve yaitu sel Th1 menghasilkan IFN-γ, TNF-α, dan GM-CSF yang umumnya berperan sebagai penginduksi makrofag. Sel Th2 menghasilkan IL-4, IL-5, dan IL-13. Sel Th17 menghasilkan IL-17A, IL-17F, dan IL-22. Sel T regulator atau supresor sebagai pengendali (immunomodulator) respon imuitas sehingga respon imun tidak menimbulkan reaksi yang berlebihan, menstop jika patogen telah dikalahkan.

Respon imunitas terhadap Mikosis
Kulit merupakan barrier (benteng pertahanan) terdepn sistem imunitas, pada kulit terdapat suatu sistem imunitas yang dimanakan SALT (Skin Assocoation Lymphoid Tisseu), pada bagian ini kulit bagian subkutan selain terdiri dari berbagai sel kulit dan jaringan kita berupa kolagen juga terdapat kelompok sel-sel fagosit yang dinamakan sel Langerhans dan juga kelompok sel dendritic, pada bagian tertentu terdapat juga sel CD8 dan CD4, dan makrofag. Sel-sel ini bermigrasi dari pembuluh darah dan menetap ke dalam jaringan kulit. Perannya menjadi garda terdepan jka terjadi infeksi.
Pada kelompok jamur-jamur superfisial mereka menghasilkan sejumlah enzim yang dapat memecah lapiran jaringan ikat kulit dan hifa dapat menembus masuk ke bagian epidermis dan mengambil nutrisi dari sel-sel tersebut.

Respon imun yang berperan dalam hal ini adalah kelompok sel-sel fagosit terutama makrofag, sel Langerhans yang akan memfagositosis bagian-bagian hifa jamur, dan mengeluarkan sejumlah mediator berupa sitokin yang mengundang sel-sel fagosit lain. Kerusakan jaringan berupa pengelupasan bagian-bagian kulit merupakan mekanisme yang alamiah untuk melokalisir invasi jamur agar tidak meluas ke bagian lain atau mencapai lapisan kulit yang lebih dalam. Pada umumnya reaksi hanya sampai tahap seluler jika ada infeksi berulang biasanya menimbulkan gejala hipersensitivitas tipe IV.

Bagaimana sistem imunitas dapat mengenali patogen?
Semua mikroba memiliki kesamaan marker yang disebut sebagai PAMS (Pathogen Associated Mollecular Patters). PAMS dapat berupa sttruktur dinding sel berupa peptidoglikan, LPS, bagian DNA, atau fragmen DNA dsb (lihat tabel) :

Struktur PAMS akan dikenali oleh PRR yang terdapat pada sitem imun terutama pada sel-sel fagosit.  PRR pada sel-sel fagosit umumnya berbentuk TLR (Toll Like Receptor) yang terdiri dari berbagai kelas :
  • TLR1 dan TLR2 : Mengenali peptidoglikan bakteri gram positif
  • TLR3 : Mengenali dsDNA yang umumnya kelompok virus
  • TLR4 : Mengenali LPS dinding bakteri gram negatif dan Lipotecholic Acid dari bakteri gram positif. 
  • TLR5 : Mengenali bagian Flagelin
  • TLR6 : Mengenali sisa-sisa nekrosis dan Hsp

Contoh Candida albicans akan dikenali bagian PAMPS-nya yang berupa dinding sel oleh TLR2/TLR6 Dectin-2 maka ketika terjadi pengenalan ini seketika sel-sel imunokompeten akan teraktivasi aktivitas fagositosisnya, jalur pembentukan sitokin proinflamasinya, dan sejumlah sitokinnya seperti IFN dan IL17 untuk mengundang sel fagosit lainnya. Reaksi inflamasi yang ditandai oleh peningkatan kadar ROS secara intraseluler merupakan mekanisme penting untuk mengdegradasi patogen, namun pada sebagian jamur keberadaan antioksidan dapat menghindarkannya dari aktivitas fagositosis ini. Sel imunokompeten yang utama berperan dalam prosesi ini adalah makrofag, dentritik, serta sel-sel Langerhasn.


Neutrofil juga dapat berperan. Namun hanya sel imunokompeten (sel APC) yang dapat melanjutkan presentasi antigen ke sel limfosit T. Sel limfosit T yang teraktivasi oleh sel APC yang mempresentasikan antigen maka kan berdiferensiansi menjadi beberapa subset seperti sel Th1 dan sel Th2.


TH-1 in Action

 
TH-2 In Action

Sel Th1 yang dihasilkan dari diferensisasi sel T naïve (belum teraktivasi) akan menghasilkan IFN-γ (Interferon Gamma) yang akan menginduksi makrofag membunuh patogen. Selain itu dari deferensiasi dihasilkan sel TFH (T follicular helper Cell) yang membantu menginduksi sel limfosit B untuk membentuk antibodi terhadap patogen.
Selain itu dihasilkan juga sel Th2 sel ini akan menghasilkan sejumlah sitokin seperti IL (interleukin) IL-4 dan IL-13 yang akan mengaktivasi makrofag melakukan perbaikan jaringan yang rusak. lL-4 dan IL-13 juga berpern dalam merangsang pembentukan mucus pada saluran pencernaan agar patogen tertahan dan keluar dari saluran cerna serta merangsang gerakan peristaltik. IL-4 juga berperan dalam mengaktivasi pembentukan antibodi kelas IgG, serta IgE yang akan melekat pada sel mastosit (Sel mast). IL-5 terkhusus membantu mengaktivasi eosinophil pada infeksi golongan helmintes.

Selain itu dihasilkan juga seri sel Th17. Sel ini dinamakan Th17 karena menghasilkan IL-17 yang menginduksi pertahanan sel-sel epitel sebagai barrier mukosa agar patogen tidak masuk.





Mekanisme Respon Imunitas Sel Denritik terhadap Mikrosis

Sel dentritik merupakan sel fagosit imunokompeten (Sel APC = antigen Presentating Cell = penyaji antigen). Disebut sebagai dendritic karena memiliki struktur sel seperti berambut Sel dendritic merupakan turunan dari promonosit yang di sumsum tulang dikenali dengan marker permukaan berupa CCR2+, Ly6C+, dan CD11b+.



Sel-sel tersebut kemudian akan bermigrasi ke berbagai jaringan dengan ragam varian seperti sel dendritic, sel plasmosit dendritic (Nampak seperti sel plasma bersitoplasma besar, berjumbai). Sedangkan di kulit terspesialisasi menjadi sel Langerhans. Monosit dapat menjadai sel monosit ketika terjadi infeksi menjadi dendritic inflammatory.



Di paru-paru akan menetap sebagai sel dendritic dengan marker permukaan CD11b+, Langerin, CD11c+, dan CD103+. Ada juga sel Plasmatoid dendritic dengan marker permukaan CD11b+, CD11cdm, B220+, Ly6C+. Kedua sel tersebut berada di sepanjang saluran pernapasan bekerja layaknya petugas patrol yang akan memfagositosis patogen yang berhasil menembus barrier mukosa. Pada Alveolar dikenal ada sel Alveolar Dendritik dengan marker CDc+, CD103+ yang bersifat non autofluorecent jika diperiksa secara imunohistokimia fluoresensi.
Pada tahap terjadi infeksi sel-sel tersebut mendapat tambahan bantuan dari sel dendritic inflammatory dan mo Dendritic (sel mature dari monosit) yang berasal dari sumsum tulang. Sel-sel ini ketika memfagositosis patogen penyebab mikosis seperti golongan aspergilus, blastomyces, Cryptococcus, dan histoplasma maka antigen akan mengalami pemrosesan kemudian dipresentasikan melakui MHCII ke sel Limfosit T helper naïve yang kemudian menginduksi sel T naïve berdiferensiasi menjadi sel efektor berupa sel limfosit Th I.
Pada sistem SALT (Skin Association Lymphoid Tissue) sel dendritic juga berasal dari sumsum tulang dengan jenis mo dendritic membentuk populasi sel Langerhans dan sel dendritic sendiri. Sel Langerhans umunya ditemui pada lapisan epidermis, sedangkan sel dendritic pada lapisan dermis. Sel-sel ini berperan sebagai APC, jika mereka menemukan patogen yang masuk menembus ke epidermis atau dermis maka mereka akan memfagositosis kemudian antigennya dipresentasikan ke sel limfosit T naïve. Sel Langerhans selain mempresentasikan antigen juga akan menghasilkan IL-1β, IL-6, dan IL-23 yang berperan memodulasi respon imun pada sel limfosit T, inflamasi, dan terhadap sel B untuk membentuk sIg. Sel Langerhans akan menginduksi sel limfosit T naïve berdiferensiasi menjadi sel limfosit Th17. Sedangkan sel dendritic akan menghasilkan IL-12 dan IL-27 yang berperan meregulasi inflamasi, menginduksi sel T naïve berdiferensiasi menjadi sel Th1 menghasilkan IFN-γ untuk mengaktivasi lebih banyak makrofag.
Pada saluran pencernaan pada bagian GALT (Gastroinstentinal Association Lympoid Tissue) terdapat bagian bercak payer yang merupakan tempat kumpulan sle fagosit termasuk terdapat juga ada sel dendritic. Jika respon imunitas telah cukup maka sel T regulator atau supresor akan diaktivasi untuk menginhibisi induksi aktivasi sel T naïve oleh sel APC, menekan aktivitas sel-sel efektor Th1, Th2, Th17, serta memerintahkan sel B untuk menghentikan produksi antibodi, dan sel NK distop aktivitasnya.


Gambar di bawah ini merupakan ringkasan dari semua tahap respon imunitas terhadap jamur

Berbagai jenis patogendikenali melalui PAMS-PRR kemudian menginduksi sel-sel imunokompeten menghasilkan sejumlah sitokin, dan memproses antigen agar dipresentasikan. Aktivitas ini akan menjembatani respon imun non spesifik (respon imun bawaan) ke respon imun spesifik (respon imun adaptif).

Setiap jenis jamur dengan beragam PAMS yang dimilikinya menyebabkan penegnanlan yang beragam oleh ragam PRR naik TLR maupun jenis lainnya. Sehingga jalur-jalur transduksi yang diinduksi pun berlainan satu sama lain yang akan menyebabkan induksi signal diferensiasi sel T naïve menjadi berbeda-beda ragam sel Th yang dihasilkannya.



APC cell is bridging innate to adaptive immunity. Interaksi ini menginduksi sel Th naïve berdiferensiasi menjadi beragam sel Th yang menghasilkan sejumlah sitokin (inteurleukin), yang dilanjutkan juga induksi pembentukan antibodi oleh sel B.



Candidiasis
Candidiasis merupakan salah satu mikosis yang paling banyak terjadi. Candida memiliki bentuk dimorfik yang menjadikan virulensinya cukup tinggi serta pada beberapa lokasi berperan sebagai mikroflora normal. Jika sistem imunitas dalam kondisi lemah (penderita HIV/AIDS, pemakaian imunosupresan, atau kondisi defisiensi imun lainnya) maka candida akan tumbuh cepat dan akan berkolonisasi pada bagian Nampak berupa struktur putih. Candida membentuk struktur pseudohifa yang menghujam pada sel-sel epitel akibat lemahnya pertahanan barrier mukosa.


Kolonisasi ini mengundang sejumlah sel-sel fagosit datang ke daerah infeksi, yang akan menyebabkan reaksi inflamasi yang ditandai dengan kemerah dan perih.

Struktur pseudohifa menjadikan candida dapat menembus kebagian dalam mukosa sampai dengan pembuluh darah, sehingga pada infeksi lanjut candida dapat ditemukan dalam sirkulasi darah. Jika demikian maka sel-sel efektor sekunder akan lebih aktif terinduksi melawan infeksi ini.


DAFTAR PUSTAKA

Abbas AK, Lichtman AH, Pillai S. 2016. Basic Immunology Function and Disorder of Immune System 5th Edition. Elsevier
Kresno SB. 2010. Imunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium Edisi Kelima. Jakarta : BP-FKUI
Subowo. 2014. Imunobiologi Edisi 3. Bandung : Sagung Seto


Komentar