Langsung ke konten utama

Unggulan

BEBERAPA CATATAN UNTUK TES WIDAL

UNCERTAINTY IN MEASURMENT

Ketidakpastian yang Selalu Ada

Pengukuran sangat erat kaitannya dengan perkembangan manusia dan menjadi salah satu bukti kecerdasan manusia. Pada awalnya manusia hanya memfokuskan pengukuran pada pengukuran berat (massa) yang dilakukan untuk kegiatan barter. Kemajuan arsitektur pun erat kaitannya dengan kemampuan melakukan pengukuran, bagaimana manusia menentukan ukuran pola bangunan dsb erat kaitannya dengan ukuran-ukuran tertentu. Setiap daerah pasti memeiliki jenis-jenis ukuran yang khas, semisal dalam masyarakat Sunda masih berlaku ukuran tanah berdasarkan tumbak (1 tumbak ~ 14,1 m2) di masyarakat Jawa ukurannya memakai istilah bata. Ukuran berat dalam masyarakat Arab dikenal istilah 1 Sha, 1 Mud, 1 qirat.Ukuran berat Eropa atau AS sering menuliskan 1 cup, 1 gelas, ounce, troy Ounce, Lb. Dsb. Standar-standar ini untungnya telah distandarisasi ke dalam sistem satuan internasional (SI).

Detail of a cubit rod in the Museo Egizio of Turin

Catatan arkeologi paling tua tentang pengukuran pada kebudayaan Mesir kuno, Mesopotamia (Irak), Babilonia, dan Kebudayaan sungai Indus di India sekitar abad 4000-3000 SM. Ukuran-ukuran seperti 1 kaki (30,5 cm), 1 hasta, periode-periode pengukuran matahari, bulan, dan astronomi berasal dari Mesir kuno dan Babilonia.
Seiring perkembangan zaman semakin maju peradaban pada umumnya selalu ditandai kemajuan dalam bidang pengukuran yang makin presisi seiring dengan perkembangan sensitivitas pengukuran ilmu pengetahuan.  Contoh paling sederhana dapat ditemukan dalam lika-liku tahun masehi, dalam versi Kalender Julian yang diperkenalkan tahun 46 SM, mendefinisikan 1 tahun Masehi didefinisikan 365,25 (365 hari 6 jam).Setiap 4 tahun sekali pada kalender masehi selalu ada penambahan 1 hari pada bulan Februari sebagai konvensasi dari setiap tahun yang kebeliban 0,25 hari = 6 jam. Seiring dengan perkembangan presisi alat ukur ternyata 1 tahun = 365 hari 5 jam 48 menit 46 detik = 365,2425 hari. Sehingga setiap 1000 tahun kalender JUlius kelebihan 7-8 hari.


Masalah ini kemudian diperbaiki pada tahun 1582 atas usulan Aloysius Lilius yang disetujui oleh Vatikan yang kemudian dikenal dengan kalender Gregorian. Penemuan Jam Atom dan Konvensi Internasional mengenai satuan internasional mendorong penemuan standar waktu yang lebih presisi. Berdasarkan standar perhitungan ini pun jika dibandingkan dengan standar jam atom waktu bumi masih harus dikoreksi 1 detik secara berkala. Tercatat dari 1972-2015 telah terjadi 26 kali koreksi penambahan detik. Koreksi terakhir dilakukan pada 30 Juni 2015. Proses ini dinamakan detik kabisat yang umumnya dilakukan setiap 18 bulan sekali. Selain penambahan detik, pengurangan pun dapat dilakukan atau dalam tahun tertentu tidak dilakukan koreksi sama sekali. Hal ini diakibatkan karena keterbatasan ilmu pengetahuan yang ada dalam mengukur kecepatan rotasi bumi.

Begitupun pada kalender hijriah jumlah hari dalam bulannya ada yang 29 hari atau digenapkan menjadi 30 hari. Perhitungan yang lebih presisi menunjukan bulan berotasi dan berevolusi selama 29 hari 12 jam 44 menit 3 detik. So, karena tidak bulat angkanya maka tak heran metode pengamatan yang berbeda pada batas tertentu memiliki perbedaan dalam standar penetapan awal bulan baru. Contohnya kasus perbedaan awal Ramadhan dan Idul Fitri.Perbedaan hasil dan koreksi pengukuran dengan metode yang lebih presisi, merupakan hal yang lumrah dalam pengukuran.
Tidak ada angka yang pasti 100% akurat dari hasil pengukuran, hasil-hasil pengukuran yang dianggap benar adalah hasil ukur yang sering muncul dan berdekatan pada batas-batas tertentu. Hal ini menandakan pengukuran yang dilakukan manusia memiliki keterbatasan atau dikenal dengan istilah ketidakpastian (Uncertainty). Uncertainty tidak mungkin dihilangkan, hanya dapat dikendalikan seiring dengan proses kendali mutu. Perbaikan dan pengembangan pada metode dewasa ini memperbaiki presisi.Setiap proses pengukuran pasti memiliki uncertainty.

Contoh dalam kegiatan sehari-hari

1.       Seorang analis melarutan liofilisat bahan kontrol A yang memiliki kadar Albumin 3,30 g/mL, kemudian bahan kontrol tersebut diperiksa 5 kali secara fotometri metode BCG. Didapatkan hasil pengukuran sebagai berikut : 3,28; 3,31; 3,25; 3,36; 3,29 g/mL
2.       Seorang analis melakukan kalibrasi mikropipet ukuran 1000 uL dengan cara memipet air sejumlah 1000 uL kemudian air tersebut ditimbang dengan neraca analitik.Pada suhu 25oC massa jenis air 0,9971 g/mL. Hasil 10 kali pemipetan didapatkan hasil sebagai berikut: 0,9987; 0,9978; 0,9986; 0,9982; 0,9980; 0,9984; 0,9975; 0,9977; 0,9981; 0,9973. gram
3.       Seorang anak diminta mengukur panjang benda dengan 2 alat ukur yang berbeda. Didapatkan hasil sebagai berikut :





Berdasarkan contoh-contoh kasus di atas, dapatkah kita menentukan mana pengukuran yang paling akurat? Jawabannya tidak ada yang tahu secara akurat mana hasil yang paling mendekati, akan tetapi yang dapat menjadi
pegangan ialah. Metode-metode atau alat ukur yang memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi dapat dijadikan standar acuan tertinggi yang mendekati hasil yang sebenarnya.
Oleh karena uncertainty tidak dapat dihilangkan, maka dikembangkan teknik-teknik pengukuran uncertainty untuk dinilai apakah hasil ukur yang dilakukan masih dapat diterima atau tidak. Beberapa standar internasional seperti ISO 15189 dan ISO 17025.

Next Tulisan Sumber- Sumber Uncertainty di Laboratorium

Komentar