Langsung ke konten utama

Unggulan

BEBERAPA CATATAN UNTUK TES WIDAL

IMMUNOASSAY BERLABEL



IMMUNOASSAY “BERLABEL”
Pemeriksaan imunologi merupakan salah satu pemeriksaan yang paling banyak dikerjakan di laboratorium klinik. Dewasa ini prinsip-prinsip pemeriksaan imunologi yang berbasis reaksi antigen-antibodi tidak terbatas hanya untuk mendeteksi marker imunologi saja. Penggunaan prinsip-prinsip reaksi antigen-antibodi meluas ke berbagai parameter non imunologi, seperti pemeriksaan kimia klinik yang berbasis reaksi presipitasi antibodi terhadap analit dalam darah, mendeteksi keberadaan obat dalam berbagai cairan tubuh, serta pada pemeriksaan-pemeriksaan sitologi dan histologi.
Perkembangan ini tidak lepas dari perkembangan pengetahuan untuk menambatkan suatu penanda atau yang dikenal dengan pelabelan antigen atau antiodi dengan suatu konjugat. Pada awalnya konjugat yang ditambatkan atau label yang digunakan adalah unsur-unsur radioaktif seperti 125I, metodenya disebut Radio Immunoassay RIA, kemudian berkembang menjadi pelabelan konjugat berbasis enzim berwarna metodenya disebut Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay (ELISA). Teknik ELISA ini umumnya dikerjakan secara manual dan memerlukan waktu lama. Pengerjaan manual kemudian beralih menjadi pengerjaan secara instrument berbasis label yang berfluorecent atau memantulkan pendaran cahaya metodenya disebut Enzyme Linked Fluorecent Assay (ELFA), dan satu lagi yang berchemilunecent atau memancarkan pendaran cahaya yang metodenya disebut Chemiluminecent Linked Immunoassay (CMIA) atau Electrochemiluminecent Linked Immunoassay (ECLIA).
Keberhasilan awal dari reaksi immunologi berlabel terjadi pada tahun 1960 oleh Rosalyn Yallow dan Berson yang mencoba mengembangkan teknik radioisotope untuk memperlajari volume darahdan metabolisme iodin yang kemudian menjadi studi hormone terkhusus insulin. Pda tahun 1959 mereka menyempurnakan teknik poengukuran ini dan memberinama radioimmunoassay (RIA). Teknik ini sangat sensitive dapat mengukur jumlah analit yang sangat kecil dan hanya memerlukan jumlah sampel yang sedikit.


RIA mendasarkan reaksi pada antigen yang berlabel radioisotope seperti 125I. Antigen berlabel (Ag*) akan berkompetisi bersaing dengan antigen yang tidak berlabel (Ag) dari sampel untuk bereaksi dengan antibodi (Ab). Sisa dari Ag* yang tidak bereaksi diukur. Selain teknik kompetitin ada juga teknik non-kompetitif, dalam reaksi ini yang dilabel radioaktif adalah antibodi universal. 


Teknik RIA memerlukan perlengkapan dan keamanan khusus dalam pengerjaannya, sehingga walaupun sensitif dan akurat namun kurang praktis dalam mengerjakannya. Dewasa ini hanya laboratorium-laboratorium khusus tertentu yang mengerjakan pemeriksaan ini dan terbatas pada parameter-parameter tertentu yang jumlah analitnya sangat sedikit.
Sejak Rosalyn Yallow sukse denga teknik RIA pada tahun 1960, peneliti-peneliti lain mengembangkan teknik non-radioisotop yang menggunakan enzim berlabel yang dilakukan Perlmann dan Schuurs. Walaupun awalnya dipandang skeptic namun pada 1966 mereka menemui titik terang, kemudian Peter Perlmann dan Eva Engvall pada tahun 1971 dari Universitas Stockholm Swedia berhasil mengembangkan teknik ELISA untuk menentukan secara kuantitatif IgG, yang disebut teknik Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay (ELISA), kemudian disusul dengan teknik yang dikembangkan Anton Schuurs dan Bauke van Weemen dari Belanda.
Pada tahun 1970-1980 ELISA mengalami perkemnbangan yang cepat menjadi metode laboratorium yang diterimas secara luas sampai dengan sekarang. Pada dasarnya menggunakan enzim yang di-linked (dihubungkan) atau yang dsebut “dilabel” atau “conjugated”.
Perkembangan selanjutnya berkembang immunoassay berlabel non-radioisotof lainnya. Pada tahun 1983 Antony Campbell dari Universitas Cardiff berhasil mengembangkan akridium ester yang dapat memendarkan cahaya dari hasil reaksi kimia (chemiluminescent) sebagai pengganti 125I yang dewasa ini dikenal dengan teknik Chemiluminecent Immunoassay (CMIA) dan Electrochemiluminecent Linked Immunoassay ( ECLIA). Ada juga reaksi berbasis pemantulan cahaya (fluorescent) yang sejak tahun 1960 ada, dan baru marak dipakai pada awal tahun 1990-an, selain diaplikasikan dalam immunoassay juga dalam teknik-teknik histologi lainnya. Perkembangan immunoassay berlabel juga tidak lepas dari keberhasilan Kohler dan Milstein yang pada tahun 1986 pertama kali berhasil memproduksi antibodi monoclonal yang disetujui oleh FDA. Penemuan antibodi monoclonal ini menjadi tonggak pengembangan penelitian dan penemuan sejumlah antigen dan antibodi lainnya.

Apa perbedaan metode-metode ini?
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, ingat bahwa pada hakikatnya antibodi terdiri 5 isotope antibodi yaitu IgA, IgD, IgE, IgG, dan IgM. Setiap immunoglobulin terdiri dari Fragmen konstan (Fc) dan fragmen Variabel (Fab). Umumnya untuk pemeriksaan imunologi yang dideteksi adalah IgG dan IgM, karena keduanya merupakan fraksi yang dominan (75-80%) dari jumlah seluruh immunoglobulin. IgG dan IgM ditemukan secara luas, terutama yang IgG (70-75% Immunoglobulin adalah IgG), dan keduanya adalah yang paling berperan dalam respon imun.
Isotope Immunologlobulin

Struktur Dasar Immunoglobulin

Dasar-dasar reaksi keempat metode di atas dapat dikelompokan sebagai berikut :

1.       Mendeteksi antibodi berjenis IgG
Pada tahap pertama, IgG dalam sampel akan dideteksi keberadaanya dengan mereaksikannya dengan antigen, maka jumlah IgG dan antigen berikatan kemudian dideteksi dengan anti antibodi yang berlabel. Label dapat berupa konjugat enzim ataupun unsur lain yang dapat dideteksi sesuai dengan metode yang digunakan. Oleh sebab antibodi dan antigen bereaksi secara langsung, maka rekasi dan jumlahnya langsung terdeksi maka reaksi ini disebut sebagai teknik direk.
Ilustrasi reaksi
IgG + Ag berlabel yang berlebih ----> IgG-Ag + Sisa Ag
IgG-Ag berlabel > aktif > dideteksi konjugat
maka jumlah sinyal yang terdeteksi setara dengan jumlah IgG dalam sampel.
Pemeriksaan yang bertujuan mendeteksi IgG umumnya bersifat kuantitatif (mengukur kadar).

2.       Mendeteksi antibodi berjenis IgM
Pada tahap pertama diperlukan men-capture antibodi (IgM ditangkap terlebih dahulu) oleh anti IgM antibodi. Hal ini dikarenakan ukuran molekul IgM yang besar cenderun memiliki afinitas ikatan (kekuatan) yang lemah, lambat, dan mudah lepas jika tidak ditambatkan. Oleh karenanya bagian Fc IgM akan di-capture terlebih dahulu oleh Anti IgM agar pada tahap selanjutnya ikatan IgM dengan antigen lebih stabil. Setelah IgM di-capture barulah IgM akan direaksikan dengan antigen, setelah itu sisa dari antigen yang tidak bereaksi dengan IgM akan dideteksi dan diukur dengan mereaksikannya anti antigen berkonjugat enzim ataupun unsur lain yang dapat dideteksi sesuai dengan metode yang digunakan. Pemeriksaan ini merupakan teknik deteksi secara tidak langsung (Indirek).

IgM + Anti IgM ---> Kompleks ikatan Fc IgM-Anti IgM
Kompleks Fc IgM-Anti IgM + Ag berlebih ---> Bagian Fab IgM Berikatan dengan Ag + sisa Ag
Sisa Ag + dideteksi Anti-Ag berlabel -----> Sinyal
Keberadaan IgM = Ag yang bereaksi =  Ag berlebih - Sisa Ag

Pemeriksan antibodi jenis IgM dengan immunoassay berlabel umumnya bersifat kualitatif (mendeteksi ada dan tidaknya IgM), hal ini berkaitan dengan struktur IgM yang berbentuk pentamer dan dapat mengingat antigen yang telah antigen lain yang telah terikat menyulitkan menentukan kadar IgM secara akurat.

3.       Mendeteksi Antigen
Reaksi ini berbasis reaksi sandwich atau indirek seperti pemeriksaan IgM. Pada tahap pertama antigen di-capture oleh antibodi kemudian kompleks ini berekasi dengan anti antigen yang berlabel, membentuk struktur yang dianalogikan seperti roti  sandwich yaitu roti-isi-roti, dalam hal ini kompleks susunan berupa susunan Ab-Ag-Ab.

Oleh karenya karena analit yang dideteksi itu sama, hakikatnya pun keempat metode pemeriksaan imunologi berlebel ini adalah sama, satu dengan yang lain adalah pengembangan dari metode yang sebelumnya. Metode-metode ini berbasikan rekais imunologi fase II (Reaksi Antigen-Antibodi).
Pada proses pengerjaan ELISA, tahap pertama adalah Immunosorbent. Tahapan ini merupakan proses reaksi antigen-antibodi membentuk ikatan kovalen, disebut sorbent (menempel) karena reaktan (antigen atau antibodi penangkap) ada di dasar microwell ELISA. Tahap selanjutnya reaksi yang terjadi dideteksi secara enzimatik kolorimetri.
Berikut contoh tes kualitatif antigen HBsAg, tes kualitatif antibodi IgM anti Rubella, dan test kuantitaif antibodi IgG anti Rubella. Setiap pemeriksaan yang berbeda memiliki microwell yang berbeda, karena setiap microwell sebagai media immunosorbent dalam ELISA berisi antibodi atau antigen yang berbeda.

1.       Pemeriksaan HBsAg Kualitatif Metode ELISA
Microwell pada pemeriksaan ini dilapisi oleh anti HBsAg monoclonal. Ketika ditambahkan sampel yang mengandung HBsAg sebagai antigen, maka HBsAg berikatan dengan anti HBsAg monoclonal membentuk kompleks antigen-antibodi sedangkan yang komponen lain tidak berikatan, karena reaksi imunologi bersifat spesifik (lock and key). Ketika dilakukan pencucian dengan larutan buffer, kompleks antigen antibodi yang saling melekat di microwell, inilah kenapa disebut immunosorbent. Proses pencucian menghilangkan komponen lain yang tidak berikatan. Setelah itu kemudian ditambahkan Anti HBsAg polikolnal yang dilabel dengan Enzym, Anti HBsAg yang berlabel enzim ini akan berikatan dengan kompleks HBsAg yang ada di dasar microwell, sisa yang tidak berikatan dicuci kembali. Proses selanjutnya ditambahkan substrat yang mengaktifkan enzim mengkatalisis perubahan substrat menjadi menjadi bentuk molekul lain yang berwarna. Untuk menghentikan reaksi lainnya ditambahakan stop solution asam sulfat. Intesitas warna yang terukur setara dengan konsentrasi HBsAg dalam sampel. Pengerjaan ELISA seperti ini disebut Indirect ELISA.
 
MICROWELL ELISA

ELISA WASHER AND READER

2.       Pemeriksaan Kuantitatif antibodi IgG anti Rubella
Microwell pada pemeriksaan ini dilapisi oleh antigen Rubella. Ketika ditambahkan sampel yang mengandung antibodi IgG anti Rubella, maka antibodi IgG anti Rubella berikatan dengan antigen Rubella di dasar microwell, kemudian dilakukan pencucian dan ditambahkan Anti Antibodi IgG Rubella yang dilabel enzim. Pada tahap ini yang diikat adalah bagian Fc dari antibodi IgG anti Rubella. Setelah itu dilakukan pencucian kembali untuk menghilangkan kelebihan komponen yang tidak ikut bereaksi, kemudian ditambahkan substrat untuk mengaktifkan terjadi reaksi enzimatik yang menghasilkan warna dengan intensitas tertentu. Tambahkan stop solution. Intesitas warna yang terukur setara dengan konsentrasi antibodi IgG anti Rubella dalam sampel. Pengerjaan ELISA yang seperti ini disebut indirect ELISA.

3.       Pemeriksaan Kualitatif antibodi IgM anti Rubella
Microwell pada pemeriksaan ini dilapisi oleh peng-capture (penangkap) yaitu anti IgM antibodi yang mengikat bagian Fc IgM. Setelah di-capture dilakukan pencucian dan kemudian ditambahkan antigen Rubella yang akan berikatan dengan bagian Fab IgM, kemudian ditambahkan anti Rubella yang dilabel enzim, dicuci lagi, tambakan substrat. Setelah itu tambahkan stop solution. Intensitas warna yang terukur setara dengan konsentrasi antibodi IgM anti Rubella dalam sampel. Nah Pengerjaan ELISA yang seperti ini disebut Capture ELISA.
Pengerjaan ELISA memakan waktu yang cukup lama, perlu latihan berulang kali dan tidak praktis, sehingga laboratorium klinik untuk mengejar waktu kecepatan pemeriksaan dewasa ini mulai bergeser menggunakan metode ELFA, CMIA, dan ECLIA. Walaupun demikian metode ELISA tetap digunakan. Pada dasarnya ketiga metode ini sama, hanya berbeda dalam jenis label untuk pendeteksi reaksi yang terjadi, dalam tulisan ini akan diterangkan mengenai metode ECLIA yang berdasarkan keluaran manufaktur ROCHE berbasis alat Cobas Elecys.
Cobas E-411

Cobas Elecys merupakan seri instumentasi imunologi keluar ROCHE yang menggunakan metode ECLIA. Alat ini digunakan untuk banyak pemeriksaan imunologi seperti untuk pemeriksaan HBsAg (Kualitatif, Kuantitatif, Konfirmatori), anti HBs, anti HCV, anti HIV, IgE, Panel TORCH (Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus, dan Herpes I-II) IgG dan IgM.
Selain parameter imunologi, metode ELFA-ECLIA-CMIA dapat juga digunakan untuk parameter non-imunologi seperti panel hormone tiroid FT4, T3, T4, TSHs, parameter kimia klinik seperti Ferittin, vitamin D-25-OH, Panel Tumor marker seperti AFP, PSA, Ca-125, Ca 15-3, dsb.

Metode ECLIA didasarkan pada reaksi electrochemiluminescent yaitu reaksi pelepasan pendaran cahaya dengan intensitas dan panjang gelombang tertentu ketika suatu elekron dilepaskan karena adanya transisis energy karena eksitasi elektron dalam suatu reaksi redoks. Agar definisi tersebut lebih dipahami, perhatikan contoh mengenai pemeriksaan HBsAg dan IgE metode ECLIA di bawah ini. Secara garis besar mirip dengan tahapan metode ELISA. Bedanya pengerjaan ELISA dilakukan secara manual dan memerlukan waktu 3-4 jam sekali pengerjaan, sedangkan untuh pemeriksaan ECLIA dilakukan secara automatis pada alat, dan hanya memerlukan waktu 15-30an menit sekali pengerjaan.

1.       Pemeriksaan HBsAg Kualitatif metode ECLIA
Dalam metode pemeriksaan ini ada beberapa komponen reagen yang digunakan. Pertama ada R1, berisi Biotinylayed yang dilabelkan ke anti HBsAg monoclonal (Ab-Bio). Kedua R2, berisi anti antibodi HBsAg yang mengkhaelasi (berikatan) kompleks ion Rutherium dengan biloks +2 (Ru(bpy)32+). Ketiga R3, berisi Streptavidin (S) yang dilapisi micropartikel yang bersifat berikatan dengan elektroda (pengganti microwell). Setiap pemeriksaan hanya berbeda isi R1 dan R2 saja. Di samping ketiga reagen tersebut ada reagen lain yang digunakan dalam semua jenis pemeriksaan yaitu ProCell, CleanCell, dan Syswashyang memiliki peran sebagai buffer solution dan stop solution.
Ag + Ab-bio (R1) ----> Ag-Ab-bio
Ag-Ab-bio + Anti-Ab-Ru(byp) 32+ (R2) ----> Ag-Ab-bio- Anti-Ab-Ru(byp) 32+
Ag-Ab-bio- Anti-Ab-Ru(byp) 32+ + S ----> Ag-Ab- Anti-Ab-Ru(byp) 32+-bio—S (menempel pada elektroda)
Elektroda akan menyebakan ion Ru+2 dan TPrA menerima elektron
Ag-Ab- Anti-Ab-Ru(byp) 32+-bio—S + TPrA ----> Ag-Ab- Anti-Ab-Ru(byp) 32+-bio—S + TPrA-
Terjadi perubahan biloks ini mengakibatkan adanya signal electrochemiluminescent

Tahapan reaksi dimulai ketika sampel akan dipipet kemudian di tempatkan dalam tube assay, kemudian ditambahkan dengan R1 dan R2. Reaksi berjalan pada suhu suhu 37oC. Pada tahap ini, HBsAg berikatan dengan anti HBsAg monoclonal yang dilabel Biotinylayed (Ab-Bio) membentuk kompleks Ikatan Ag-Ab-bio, kemudian berikatan dengan anti antibodi HBsAg yang berlabel dengan ion Rutherium membentuk Ag-Ab-bio- Anti-Ab-Ru(byp) 32+. Bagian biotilayed akan berikatan dengan streptavidin yang dilapisi micropartikel, membentuk kompleks Ag-Ab-Anti-Ab-Ru(byp)32+-bio-S. Kompleks imun kemudian dipipet ke dalam measuring flowcell, pada bagian instrument ini ada elektroda, sebagai sorbent (tempat melekat) kompelks imun. Elektroda ini merupakan elektoda, setelah itu ditambahkan Pro Cell untuk menghilangkan komponen lainnya. Reaksi electrochemiluminescent terjadi ketika TPA (TRYPTOPHILAMINE) sebagai carrier elektron. Pertemuan reaksi di elektroda ini menimbulkan reaksi redoks dan signalnya terukur sebagai pendaran cahaya akibat energi transisi elektron yang disebut disebut electrochemiluminesecent. Signal ini dibandingkan dengan cut off hasil kalibrasidan diperhitungkan secara otomatis oleh software dalam instrument.  
2.       Pemeriksaan Kuantitatif antibodi IgE
Pada prinsipnya sama sama diatas hanya saja, yang R1 nya adalah Biotinylayed yang melekat atau dilabelkan ke antigen, R2 nya adalah R2 yang berisi anti IgE antibodi  yang mengkhaelasi (berikatan) dengan ion Rutherium dengan biloks +3. R3 tetap berisi Streptavidin yang dilapisi micropartikel reaksi pada elektroda menghasilkan signal electrochemiluminescent.

Referensi
Goldsmith, SJ. 1975. Radioimmunoassay : Review of Basic Principle. Pubmed.
Thomson Gale. 1997. Radioimmunoassay (RIA).  Medical Discoveries encyclopedia.com
ELISA Test: History, Type, and Kits. 2017. Rapidtest.com
Kit Insert HBsAg II Cobas Roche.
Kit Insert IgE Cobas Roche
Kresno, SB. 2010.Imunologi : Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. FKUI : Jakarta
Subowo. 2014. Imunobiologi. Sagung Seto : Jakarta.









Komentar